Polisi Mesir menembakkan gas air mata dan peluru karet serta memukuli pengunjuk rasa yang berjumlah ribuan orang di pusat Kairo setelah demonstrasi terbesar terjadi dalam beberapa tahun melawan kekuasaan otoriter Presiden Hosni Mubarak.
Dua pengunjuk rasa dan seorang petugas polisi tewas dalam demonstrasi nasional yang diilhami oleh pemberontakan Tunisia, yang juga menuntut solusi terhadap kemiskinan yang ada di Mesir dan kemungkinan besar demonstran juga akan menjadi bahan bakar pembangkangan pada pemilihan presiden mendatang.
Memobilisasi demonstran sebagian besar dilakukan lewat Internet, gelombang pengunjuk rasa memenuhi Tahrir Square di pusat Kairo - pada hari Selasa kemarin (25/1), beberapa pengunjuk rasa melemparkan batu dan memanjat di atas truk lapis baja polisi.
"Turun Hosni Mubarak, turun kan tiran itu," teriak para demonstran. "Kami tidak Menginginkan Anda!" mereka berteriak saat ribuan polisi anti huru hara dikerahkan dalam operasi keamanan besar-besaran yang gagal menenangkan demonstran.
Saat malam tiba, ribuan demonstran tetap berdiri di lokasi demo mereka untuk apa yang mereka janjikan akan duduk sepanjang malam di Tahrir Square yang hanya beberapa langkah dari parlemen dan bangunan pemerintah lainnya - memblokir jalan-jalan dan membuat panggung untuk konfrontasi dramatis bahkan lebih.
Sebuah pasukan keamanan besar bergerak sekitar pukul 1:00 malam Rabu (26/1), menangkap orang-orang, mengejar demonstran lainnya ke jalan-jalan dan mengisi Tahrir Square dengan gas air mata. Banyak demonstran roboh di tanah akibat mengalami masalah pernapasan berat di tengah tembakan gas air mata.
Suara yang tampaknya seperti senjata api bisa terdengar saat polisi anti huru hara dan petugas berpakaian preman mengejar ratusan demonstran yang bergegas lari ke jalan utama di sepanjang Nil di pusat kota Kairo. Sekitar 20 petugas terlihat dengan brutal memukul salah seorang pengunjuk rasa dengan tongkat.
"Polisi bertindak sangat kasar, mereka menembak, memukul dengan tongkat," kata Gigi Ibrahim, yang merupakan salah satu pengunjuk rasa terakhir yang meninggalkan alun-alun tersebut. "Tahrir Square dipenuhi oleh asap gas air mata."
Ibrahim mengatakan dia dipukul di punggungnya dengan sesuatu yang terasa seperti batu. "Beberapa orang terkena di wajah mereka."
Beberapa pengunjuk rasa berubah menjadi kekerasan di tengah tindakan keras polisi. Mereka merobohkan stan polisi yang kosong dan menyeretnya beberapa meter sebelum kemudian membakarnya, sambil menyanyikan nyanyian menggulingkan rezim. Sebuah truk pickup polisi terbalik dan dibakar di belakang Museum Mesir terkenal. Demonstran juga membakar barikade logam dan memblokir lalu lintas di sebuah jembatan besar di atas sungai Nil.
Polisi di jembatan menembakkan gas air mata dan pengunjuk rasa berlarian melawan ke arah polisi, memaksa petugas untuk mundur, meskipun mereka dengan cepat berkumpul kembali. Dua demonstran dengan luka kepala berdarah langsung di bawa dengan ambulans.
Setelah tengah malam, bau gas air mata melayang di seluruh pusat Kairo dan polisi anti huru hara dikerahkan tetap dalam jumlah besar. Tahrir Square tampak seperti medan perang yang ditutupi dengan batu dan puing-puing. Gerbang markas partai yang berkuasa di dekat alun-alun hancur.
Kelompok demonstran yang tersebar masih bertahan di beberapa daerah. Banyak yang dikejar oleh kendaraan polisi ke dalam lingkungan Shubra, di mana jalan-jalan penuh dengan batu tanda terjadinya konfrontasi berat.
Ketidakpuasan dengan kehidupan di negara otoriter telah membakar jiwa hingga akhirnya muncul ke permukaan selama bertahun-tahun. Namun, pemberontakan rakyat Tunisia, yang memaksa penguasa jatuh dari kekuasaannya, tampaknya telah mendorong rakyat Mesir turun ke jalan-jalan, banyak di antara mereka berdemo untuk pertama kalinya.
"Ini adalah pertama kalinya saya melakukan demo, tapi kami telah menjadi bangsa pengecut. Kami akhirnya harus mengatakan tidak," Kata Syed Ismail, seorang pekerja hotel yang berjuang untuk hidup dengan gaji sebesar $ 50 per bulan.
"Kami ingin melihat perubahan, seperti di Tunisia," kata Lamia Rayan 24 tahun.
Dijuluki sebagai "hari revolusi melawan penyiksaan, kemiskinan, korupsi dan pengangguran," protes hari Selasa kemarin di kota-kota di Mesir mulai berangsur damai, dengan polisi berusaha menahan diri.
Demonstran di Tahrir Square - mengibarkan bendera Mesir dan Tunisia dan mengadopsi nyanyian protes yang sama yang terdengar di jalan-jalan Tunis.
Hampir setengah dari 80 juta rakyat Mesir hidup di bawah atau tepat di atas garis kemiskinan, yang ditetapkan oleh PBB pada penghasilan $ 2 per hari. Kemiskinan meluas, pengangguran yang tinggi dan harga pangan menimbulkan ancaman bagi rezim Mubarak pada saat ketegangan antara Muslim dan Kristen semakin menambah kesengsaraan bangsa ini.
"Saya mendukung perubahan," kata Sami Imam, seorang pensiunan guru 53 tahun yang mengambil bagian dalam protes hari Selasa kemarin. "Polisi tidak bisa membunuh kami karena kami, untuk semua tujuan praktis, sebenarnya sudah mati," ujar ayah empat anak itu, sambil mencengkeram bendera Mesir, bendera putih dan hitam serta merah.
Pada hari Selasa, beberapa ibu membawa bayi mereka bergabung dengan pengunjuk rasa yang meneriakkan, "Revolusi sampai Menang!" dan melambaikan poster yang bertuliskan "OUT!" terinspirasi oleh slogan Tunisia "DEGAGE!" Banyak orang menyemprot grafiti dengan tulisan "Down with Hosni Mubarak."(fq/ap)
Info ini didapat dari eramuslim.com