Monday, May 23, 2011

Di Balik Penemuan Piramida Gunung Lalakon

Batu Tapak, Gunung Paseban, di dekat Gunung Lalakon Bandung 



 Secara Geografis Gunung lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.

Menurut Profesor Edi Sedyawati (arkeolog senior), bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti Prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi. [1]



Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.

Menurut Literatur, Triwikrama adalah tiga langkah "Dewa Wisnu' atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan.[2]

Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan, namun masih berada di lam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman Kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Disana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh "setan" (nafsu negatif).

Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam "air" sang bapa, dinamakanlah zaman Tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang sena (Ibu).

Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam Zaman Dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahaya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga.  Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam Zaman Dwaparayuga.

Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam Zaman Mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga Madyapada, Madya itu tengah, Padha berarti di tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.

Gunung Keramat

Sementara itu, di Gunung Lalakon  juga terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah Batu Panjang yang terletak di atas puncak.

Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa gunung Lalakon
Abah Acu
Menurut Abah Acu (tokoh masyarakat Kampung Badaraksa), "secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia."

Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon untuk ngalap berkah dan mencari pesugihan. "Inilah yang kami khawatirkan. Sebab itu mengarah pada perbuatan syirik." Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu (zaman ramai-ramai judi buntut) banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham, tetapi karena niatnya tidak benar, maka banyak yang gagal dan jatuh miskin..

Baik menurut Abah Acu ataupun Ustad Jujun, Karena keberadaan situs-situs batuan itulah, Gunung Lalakon dikeramatkan orang sehingga tidak mengherankan jika masyarakat disana menghormatinya karena ada penunggu gaibnya. Dan secara rutin (setiap tahun) tanggal 1 suro selalu digelar ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk.


Beberapa pemuda Kampung Badaraksa yang ditanyai posmo juga menyatakan hal yang sama. Mereka meyakini Gunung Lalakon bukan tempat 'sembarangan'. Makanya mereka menolak adanya penggalian gunung tersebut. "Kami menolak penggalian karena khawatir penunggu gunung ini marah dan tanah menjadi longsor. Boleh saja Gunung Lalakon digali, tetapi beri ganti rugi kami masing-masing tiga ratus juta untuk mencari tempat lain,: tutur Nurdin, salah seorang pemuda.

Kata Nurdin dulu pernah ada kejadian aneh. Ada sepasang anak muda yang berpacaran di Gunung Lalakon. Persisnya disekitar keberadaan Batu Lawang. Karena sedang domabuk asmara, maka pasangan ini melakukan perbuatan tidak senonoh. "Mungkin karena penunggu gaib gunung ini marah, maka ketika pulang ke rumah keduanya sakit dan tidak lama meninggal dunia." ungkapnya.

Namun demikian, tradisi dan mitos-mitos yang melekat pada masyarakat di sekitar lereng Gunung Lalakon (Bandung) ini tidak ada pada masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip (Garut) relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. bahkan mereka tidak peduli dengan adanya berbagai mitos seperti yang terdapat di Gunung Lalakon.

Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.

Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo.  Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.

Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, kepada VIVAnews mengaku telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.

“Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.

Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.

Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.

Dia menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.

Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini memang suatu pengungkapan gemilang tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap?

Wallahu a'lam.

Referensi :
[1] Vivanews.com/news/read/berburu-piramida-di-nusantara
[2] Tabloid Posmo Edisi 626 Tahun XI 17 Mei 2011, Laporan Utama, Hal.07
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...