Postingan ini diambil dari Makalah child protection (Perlindungan Anak) yang ditulis oleh Albert M. Hutapea(1) berjudul “Lingkup dan Mekanisme Bahaya Pengaruh Negatif Televisi atas Perkembangan Jiwa dan Psikososial serta Fungsi Kognitif Otak Anak”(2).
ABSTRAK
Menonton televisi adalah kegiatan yang lumrah bagi keluarga, namun hanya sekitar 15% saja dari acara untuk anak-anak yang aman untuk anak-anak. Karena durasi menonton pun cenderung meningkat, maka kegiatan ini dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental dan selanjutnya kualitas generasi penerus bangsa Indonesia. Oleh karena itu, prevalensi dan dampak kegiatan ini perlu diteliti. Penelitian ini adalah kajian data empiris dan galian pustaka teoritis terkait.
Temuan teoritis dan empiris menunjukkan bahwa anak-anak sangat rentan kepada pengaruh televisi sehingga mereka akan matang seksual lebih cepat, menjadi konsumptif, perilaku psikososial yang melebihi usia, kecanduan dan melumrahkan kekerasan. Ini adalah karena televisi menekan fungsi otak depan yang berfungsi sebagai penyaring informasi yang masuk ke dalam pikiran, mirip dengan apa yang terjadi sewaktu seseorang sedang dihipnotis. Televisi juga mempengaruhi fungsi kognitif anak-anak dengan mempengaruhi kemampuan berpikir serta berimaginasi, daya dan durasi konsentrasi, perkembangan keterampilan membaca, kemampuan berbicara serta pencapaian akademis di sekolah.
Perlu penanggulangan sistematis dalam mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif televisi terhadap kualitas generasi penerus bangsa, oleh karena itu kajian ini menawarkan beberapa usulan program dan kebijakan yang menuntut keterlibatan dan kerjasama sinergis antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Badan Legislatif Indonesia (DPR), Kementerian Pendidikan Nasional (KEMENDIKNAS), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Indonesian Media Watch (IMW), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Sensor Film (LSF), Industri Pertelevisian, Lembaga Pendidikan (Sekolah) dan Keluarga (orangtua).
****
(1) Dipresentasikan di Konferensi “Penelitian mengenai Isu tentang Anak di Indonesia” oleh BAPPENAS, UNICEF, SMERU, Jakarta, 22 November 2010.
(2) Guru Besar dan Dekan Fakulas MIPA, Universitas Advent Indonesia. e-mail: amhutapea@gmail.com
I. PENDAHULUAN
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Wujud dan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh perkembangan generasi penerus ini sebelum mengambil alih eksistensi dan peran generasi pendahulunya. Satu unsur penting penentu kualitas pertumbuhan anak adalah pengaruh yang diperolehnya dari lingkungan sekitarnya. Dalam era informasi ini adalah sangat sulit bagi orang tua untuk mengisolir anaknya dari pengaruh yang tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan paripurna anak mereka. Televisi adalah bagaikan pipa yang mengalirkan segala macam informasi dari luar rumah, dan informasi ini mengalir dengan sangat deras sehingga perlu disaring dan dikelola dengan baik jika memang tidak bisa dibendung sama sekali.
Televisi masih merupakan sarana yang paling diminati sebagai sumber informasi. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%).[1]
Dari 220 juta penduduk Indonesia, sepertiganya berusia 0-17 tahun dan anak (0-12 tahun) merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak negatif siaran televisi. “Kidia” mencatat hanya sekitar 15% saja dari acara untuk anak-anak yang aman untuk anak-anak.[2]
Telah lama diketahui dan diakui oleh para pakar bahwa kegiatan menonton televisi adalah satu-satunya kegiatan tunggal yang menyita lebih banyak waktu dalam kehidupan anak-anak melebihi dari kegiatan tunggal lainnya, kecuali kegiatan tidur. Oleh karena itu, secara umum, televisi diasumsikan sebagai salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi perkembangan anak. Diantara sisi perkembangan anak, hubungan antara menonton televisi dan perkembangan fungsi kognitif adalah yang paling banyak diteliti.
Masih terdapat pertentangan diantara para pakar dalam hal jenis pengaruh yang diberikan oleh menonton televisi. Namun demikian, sejauh ini lebih banyak pakar yang memberi label negatif kepada dampak televisi daripada label positif.[3]
Adalah benar televisi juga menyajikan berita dan informasi yang juga bisa menambah pengetahuan dan memperluas wawasan. Namun demikian, televisi memiliki sejumlah kelemahan jika dibanding dengan buku (atau bahan bacaan lainnya).
Para pakar komunikasi memberikan beberapa argumentasi tentang hal ini.
Pertama, eksistensi televisi adalah murni untuk tujuan bisnis sehingga orientasi programnya adalah juga bisnis. Oleh karena itu kualitas tujuan edukatifnya bukanlah prioritas utama dan acara-acaranya cenderung disajikan dan dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik dan tidak terlalu sulit untuk dimengerti.
Kedua, informasi yang disajikan televisi cenderung hanya sekilas sehingga tidak mendalam. Tayangan yang dangkal seperti ini tidak akan menggugah atau pun memicu proses perenungan (reflective thinking).[4] Inilah alasan mengapa lebih banyak pakar yang memberi label negatif kepada dampak televisi.
II. GAMBARAN KONDISI PERTELEVISIAN UNTUK ANAK-ANAK
A. Jam Tayang Acara untuk Anak-anak
Hasil survei Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)[5] menunjukkan bahwa acara televisi untuk anak-anak cenderung mengalami peningkatan. Jenis tontonan yang disajikan juga cukup banyak. Misalnya, Digimon, Detective Conan, Chibi Maruko Chan, Doraemon, Pokemon, P-Man, Gundam, Tintin, Nube, Kurochan, Drangon Ball, Inuyasha dan Flame of Recca. Hasil survei ini menunjukkan bahwa alasan yang utama para reponden (anak-anak) untuk menonton televisi adalah hiburan (72%) dan jenis acara yang sering ditonton termasuk infotainmen (gosip, telenovela, sinetron). Kegiatan menonton ini dilakukan sambil makan, tiduran dan bahkan sambil belajar. Ini menunjukkan bahwa banyak aktivitas anak-anak di rumah dilakukan sambil menonton televisi.
B. Durasi Menonton Televisi
Dibarengi dengan peningkatan jumlah dan jenis acara televisi yang diperuntukkan bagi anak-anak, durasi menonton juga ikut meningkat. Pada tahun 2000 jumlah jam menonton adalah 22,5 jam/minggu. Ini meningkat ke 32,5 jam/minggu pada tahun 2002.[2] Hasil Survei (YKAI)[5] dan jajak pendapat Kompas[5] menunjukkan bahwa banyak orang tua yang tidak melarang anak-anaknya untuk menonton acara orang dewasa. Banyak orang tua yang mengatakan bahwa anak-anaknya boleh nonton sebanyak-banyaknya yang penting PR-nya sudah selesai.”
Survei yang dilakukan di Jakarta Timur (YKAI) menunjukkan bahwa rata-rata anak-anak menonton televisi selama 3 jam/hari jika ada kegiatan ekskul dan 6 jam/hari jika tidak ada kegiatan ekskul.
Survei yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda di Bandung dan Jakarta (YPMA)[2] menunjukkan bahwa anak-anak menonton televisi selama 30-35 jam/minggu atau 4,5 jam/hari. Temuan ini cukup mengagetkan sebab di AS (Annenberg Public Policy Center)[6] sendiri, negara yang telah lama menikmati layanan pesawat televisi, anak-anak mereka menonton hanya rata-rata 25 jam/minggu. Sebagai kesimpulan dari ribuan penelitian atas dampak televisi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, American Academy of Pediatrics[6] merekomendasikan, sebaiknya anak-anak tidak menonton televisi lebih dari 2 jam/hari, dan acara yang ditonton harus yang mendidik dan berkualitas. Disamping itu, direkomendasikan juga bahwa anak-anak dibawah usia 2 tahun sebaiknya tidak menonton televisi sama sekali.
Penghitungan sederhana menunjukkan bahwa di Indonesia, total jam lama menonton televisi (1.600 jam) melebihi lama belajar di sekolah (1.000 jam) dalam setiap tahunnya. Ini adalah suatu perbandingan yang sangat tidak seimbang. Waktu yang digunakan untuk menonton televisi lebih dari satu setengah kali lipat dari waktu yang digunakan untuk kegiatan sekolah. Ini membuat kita tidak heran jika pengaruh televisi dapat menjadi lebih besar ketimbang pengaruh pendidikan sekolah.
Hasil Survei YKAI tersebut diatas menunjukkan bahwa anak-anak yang disurvei mengaku bahwa waktu belajar lebih sedikit dari waktu menonton televisi (53,4%). Yang cukup mengherankan adalah, acara yang mereka suka bukan acara anak-anak melainkan acara telenovela dan sinetron (60%). Mereka mengakui bahwa terlalu banyak menonton membuat mereka malas belajar (80,1%) dan tidak suka membaca buku (66,3%).
C. Tingkat Pengaruh Televisi
American Academy of Pediatrics[6] juga melaporkan bahwa “Televisi mempunyai pengaruh yang buruk terhadap perkembangan fisik dan mental anak.” Mengapa televisi sangat berpengaruh? Ini disebabkan karena anak-anak cepat menyerap informasi dari hal-hal yang diulang, meskipun hanya sekilas, dan anak-anak tidak mampu membedakan dunia yang dia lihat di televisi dengan yang nyata. Yang menjadi pokok persoalan adalah besarnya persentase jam tayang televisi yang isinya kurang cocok dengan usia dan tingkat perkembangan anak. Acara-acara televisi banyak yang lebih cocok untuk pemirsa dewasa justru sering kali ditayangkan pada jam dimana banyak anak-anak yang menonton.
Beberapa pengamat memberi komentar sebagai berikut tentang kualitas pertelevisian di Indonesia. “Orang-orang sekarang sudah jenuh (dengan tontonan yang ada) dan ingin melihat sesuatu yang lebih menarik.” (Harry Susianto)[7]. Kemungkinan ini adalah alasan mengapa acara televisi diberi banyak “bumbu”. “Hampir seluruh materi penyiaran di Indonesia sarat dengan unsur kekerasan, erotika, mistik, kemewahan, ketidakpatutan bertindak maupun ketidakpatutan berbahasa.” (Wicaksono Noeradi).[8] “Sinetron yang menjual mimpi telah mendominasi siaran televisi. Bumbu utamanya berputar-putar pada mistik, laga dan seks.” (Effendi Gazali).[9]
Inilah jenis acara-acara yang ditonton oleh anak-anak. Bukan hanya jenis acaranya saja yang kurang cocok, durasi menonton oleh anak-anak pun cenderung meningkat.
Hasil jajak pendapat Kompas[10] menunjukkan suatu fakta yang cukup mengherankan yaitu, 42% responden (orang tua) mengakui bahwa mereka membebaskan anak mereka untuk menonton semua acara televisi. Ironisnya, 79% orang tua yang sama juga menganggap kekerasan dan erotisme sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa tetapi tetap khawatir akan pengaruh buruk tayangan tersebut bagi anak-anak mereka.
D. Dampak Positif Televisi
Tidak semua kegiatan menonton televisi berdampak buruk. Dampak baiknya juga banyak, tergantung kepada kepatutan (tepat-usia) apa yang ditonton dan berapa lama, sehingga tidak menyita waktu yang sebenarnya digunakan untuk belajar dan membuat PR misalnya, yang berkaitan dengan program sekolah.[11]
Berbagai efek baik dari televisi antara lain misalnya dapat menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari.[12] Acara televisi lainnya seperti misalnya musik, olahraga, kesenian, flora dan fauna, ilmu bumi, juga dapat menambah wawasan dan minat. Anak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar lingkungannya. Film juga ada yang baik dan mendidik yang selain memberi hiburan juga mengajarkan anak berbagai hal yang baik, tentang sikap-sikap yang baik, tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang nilai keagamaan, tentang perilaku sehari-hari yang seharusnya kita lakukan, dan lain sebagainya. Penelitian jangka panjang juga menunjukkan bahwa menonton program-program edukatif semasa prasekolah berhubungan positif dengan prestasi yang lebih baik di sekolah menengah.[13] Namun demikian sangat disayangkan, persentasi acara televisi yang bersifat pendidikan masih sangat sedikit karena belum mendapat perhatian serius dari pihak pengelola industri pertelevisian.
III. PENGARUH ATAS PERKEMBANGAN JIWA DAN PSIKOSOSIAL
A. Mekanisme Pengaruh Televisi atas Perkembangan Jiwa
Banyak yang bertanya mengapa televisi memiliki dampak yang begitu besar terhadap perkembangan jiwa anak. Hal ini dapat juga dilihat dari dampak langsung maupun tidak langsung akan dampak televisi kepada fungsi otak depan yang berfungsi untuk menyaring informasi yang masuk melalui pancaindera.
Kegiatan otak dapat dipantau dengan menggunakan alat deteksi khusus yang disebut Elektroensefalograf (EEG) yang merekam gelombang otak. Dimana saat otak mengeluarkan gelombang β (beta) maka ini menunjukkan bahwa otak sedang aktif berpikir misalnya, menyaring informasi yang sedang masuk ke dalam otak melalui indera. Otak akan mengeluarkan gelombang α (alfa) jika sedang tidak aktif (pasif) sehingga merekam semua informasi tanpa menyaringnya.[14]
Untuk mempelajari kegiatan otak sewaktu menonton televisi Dr. Thomas Mulholland[15] merekam gelombang otak anak-anak yang sedang menonton tayangan favorit mereka. Sebelum penelitian dilakukan maka dibuat satu asumsi bahwa gelombang otak seorang anak yang sedang menonton acara kesayangannya adalah gelombang beta karena dia aktif berpikir.
Bertentangan dengan asumsi ini, didapati bahwa setelah menonton 2-3 menit, gelombang otak berubah dari beta ke alfa. Dengan demikian disimpulkan bahwa setelah menonton sebentar saja pikiran mereka tidak menunjukkan reaksi (pasif) atas apa yang ditontonnya sehingga otak merekam semua informasi tanpa tersaring oleh otak depan.
Pada saat menonton televisi gelombang beta otak menghilang lalu digantikan oleh gelombang alfa, yang artinya televisi telah menekan fungsi otak depan. Kejadian yang mirip terjadi sewaktu seseorang sedang dihipnotis. Dengan demikian televisi memiliki dampak yang sama dengan hipnotisme yaitu menekan fungsi otak depan. Bagaimanakah cara televisi menghasilkan dampak hipnotis? Dr. F. Morris[16] mengatakan bahwa “Pergantian sudut pandang gambar yang terus menerus dalam waktu yang singkat tanpa kita kehendaki menghasilkan dampak hipnotis pada penonton televisi.”
Oleh karena itu menonton acara yang tidak baik pada televisi dapat memberikan ekses negatif karena informasi masuk dan terekam di otak tanpa tersaring oleh penonton.[17] Penonton dijejali oleh segudang informasi oleh televisi tanpa mengadakan reaksi terhadap informasi tersebut. Reaksi akan timbul kemudian, tanpa disadarinya.[18] Selanjutnya Alvin Toffler[19] mengatakan: “Rangsangan yang terus menerus pada indera melumpuhkan kemampuan otak untuk berpikir sehingga akhirnya akan menumpulkan rasio berpikir.” Dengan ditekannya fungsi otak depan untuk menyaring informasi yang masuk lewat indera mata dan telinga, maka dengan mudah anak akan menyerap dan mengasimilasi hal-hal buruk yang ditontonnya di televisi.
B. Pengaruh atas Perkembangan Jiwa dan Psikososial
Melalui mekanisme diatas, televisi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan jiwa dan psikososial. Beberapa dari wujud pengaruh tersebut adalah yang berikut ini.
1. Melumrahkan kekerasan
Tayangan tertentu televisi menumbuhkan sifat agressif dan perilaku kasar pada anak-anak. Masalah ini telah diperdebatkan dalam beberapa dekade terakhir ini dan lebih dari 4000 penelitian telah menunjukkan bahwa tontonan yang berisi kekerasan menimbulkan perilaku agresif pada anak.[20] Telah menjadi konklusif bahwa menonton tayangan yang berisi kekerasan akan mengkondisikan anak untuk meniru apa yang dia tonton di televisi tersebut sebab mereka menerima kejadian di televisi seolah itu memang terjadi. Mereka tidak mengetahui tentang trik-trik dan tipuan kamera, akting atau efek film. Mereka akan percaya bahwa tindakan kekerasan terhadap “orang jahat” adalah tindakan yang heroik, walau tindakan itu tidak mengindahkan prosedur hukum yang berlaku.
Jika acara televisi yang dianggap biasa dapat berbahaya, maka acara MTV, khususnya program MTV dari Amerika Serikat yang ditayangkan stasius televisi tertentu di Indonesia, lebih berbahaya karena potongan gambar yang berubah dengan cepat, hingga beberapa kali dalam satu detik dan stimulasi suara. Dengan demikian merangsang indera penglihatan dan pendengaran secara berlebihan. Rangsangan yang berlebihan pada indera penglihatan dan pendengaran berkekuatan ganda dalam menekan fungsi otak depan yang berfungsi menyaring informasi yang masuk lewat mata dan telinga,[21] sehingga pengaruh yang buruk akan lebih cepat diserap oleh pikiran anak.
Penelitian atas dampak program MTV dilakukan atas perilaku 222 pasien RS Jiwa.[22] Dalam penelitian tersebut para pasien ini dibiarkan menonton hanya program MTV selama 7 bulan lalu tidak menonton MTV sama sekali (tapi boleh menonton acara televisi yang lainnya selain MTV). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah tidak menonton MTV selama 5 bulan maka sumpah serapah turun 32%, pengrusakan benda turun 52% dan pemukulan orang lain turun 48%. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa program televisi bisa berbahaya tapi MTV lebih berbahaya lagi. MTV adalah satu program yang sangat digandrungi oleh generasi muda (anak-anak, remaja dan bahkan orang yang telah dewasa).
2. Kurang Waktu Bersama Keluarga
Sekitar 40% keluarga menonton televisi sambil makan malam, yang seharusnya menjadi ajang “berbagi cerita” antar anggota keluarga. Di Indonesia, rata-rata televisi dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit.[23] Lebih memprihatinkan: terkadang masing-masing anggota keluarga menonton acara yang berbeda di ruangan yang berbeda. Dengan demikian akan sulit bagi orang tua untuk memantau apa yang ditonton oleh anak dikamarnya. Sebaiknya, anak-anak tidak punya pesawat televisi sendiri di kamar.
3. Menjadi Konsumptif
Iklan sangat bombastis dalam memberi janji-janji kesenangan dan kebahagiaan yang diperoleh dengan memiliki produk tertentu. Dalam tayangan iklan, kesenangan dan kehebatan serta kesuksesan diukur dari kemampuan memiliki produk terbaru yang ditawarkan oleh iklan tersebut. Ini mendorong anak untuk mengingini barang-barang baru yang ditawarkan tersebut, lalu kemudian cepat bosan dengan barang itu, karena telah muncul lagi barang yang lebih baru. Dengan demikian anak berubah menjadi konsumptif.
4. Kecanduan
Orang dewasa pun bisa kecanduan telenovela atau sinetron apalagi anak-anak. Karena kecanduan menonton televisi anak-anak tidak mau bermain di luar sehingga dunianya tidak bertambah luas, dan sangat mungkin anak akan malas belajar. Kecanduan menimbulkan malas membaca dan malas belajar dalam jiwa anak.
5. Matang Seksual Lebih Cepat
Gizi yang baik yang dikonsumsi oleh anak-anak akan membuat mereka lebih cepat matang secara biologis. Perkembangan yang cepat secara biologis ini jika dipasangkan dengan rangsangan tidak pantas yang diperoleh dari acara televisi dan rasa ingin tahu, cenderung membuat mereka meniru dan mencoba sehingga mereka akan menjadi pelaku dan sekaligus korban tindakan prematur tersebut.[24]
6. Perilaku Psikososial yang Melebihi Usia
“Banyak penyanyi cilik kita yang berdandan, astaga… persis seperti tante-tante, memakai stocking, make up yang audzubillah tebalnya, baju renda-renda. Tetapi ketika menyanyi suara yang keluar masih cadel.”[25] Anehnya, ada juga orang tua yang “bangga” melihat anaknya yang berumur balita bertingkah “genit” bak pemain sinetron Indonesia yang memainkan adegan yang tidak “real” buat standar kebanyakan masyarakat Indonesia. Salah satu sumber utama panutan yang belum pantas ditiru ini berasal dari televisi.
IV. PENGARUH ATAS PERKEMBANGAN DAN FUNGSI KOGNITIF OTAK
Ketika lahir, seorang bayi mempunyai 10 milyar sel dalam otaknya. Namun, sel-sel itu belum bersambung dan masih berdiri sendiri-sendiri. Agar berfungsi, sel-sel tersebut harus saling berkait (wiring). Maksimalisasi proses sambung-menyambung tersebut dipengaruhi oleh stimulasi gerakan, nyanyian, obrolan, serta gizi yang baik. Sementara itu, bayi atau anak yang berada di depan televisi, tidak akan memiliki pengalaman-pengalaman empirik yang cukup untuk membantu terjadinya proses wiring tersebut.
Menonton televisi bukan pengalaman empirik yang cukup membantu terjadinya proses perkaitan sel-sel otak. Televisi memberikan stimulasi virtual secara bersamaan dan cepat, sehingga tidak mendukung perkembangan otak. Proses perkaitan antar sel otak membutuhkan stimulasi yang harus terjadi secara perlahan dan bertahap.[14]
Proses pertumbuhan otak membutuhkan tingkatan-tingkatan waktu dan tidak bisa terjadi serempak. Ini berlawanan dengan televisi yang memberikan stimulasi virtual dengan cara yang bersamaan dan cepat. Stimulasi untuk pertumbuhan otak harus dilakukan secara perlahan, bertahap dan tidak bisa sekaligus, meski otak memang bekerja untuk melihat, meraba dan bergerak, dan aktivitas lainnya secara simultan.
A. Mekanisme Pengaruh terhadap Fungsi Kognitif Otak
Penelitian tentang dampak televisi atas fungsi kognitif otak mendapat perhatian yang serius dari para pakar. Dalam dua dekade yang lalu telah ada lebih dari 3000 penelitian ilmiah yang telah dilakukan dan hasilnya dipublikasikan. Lebih dari 500 buku telah ditulis tentang masalah ini.[26]
Ada sejumlah hipotesa yang telah dibuat oleh para pakar untuk menjelaskan mekanisme dampak menonton televisi pada perkembangan fungsi kognitif. Empat kelompok diantara hipotesa ini berfokus kepada proses bagaimana menonton televisi dapat meningkatkan atau menurunkan pencapaian akademis.
Pertama, hipotesa “learning”[27] dan “information-processing.”[28] Kedua hipotesa ini berasal dari pemikiran ini menyatakan bahwa dengan menonton televisi maka anak akan memperoleh informasi dari acara televisi tersebut. Dengan demikian, televisi dapat menjadi sarana pembelajaran jika informasi yang disajikan oleh acara televisi tersebut dirancang khusus untuk proses pembelajaran yang tepat-usia. Oleh karena itu, dengan mengikuti alur pemikiran ini maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan menonton ini dapat meningkatkan pencapaian akademis.
Kedua, hipotesa “time-displacement”[29] menyatakan bahwa kegiatan menonton televisi mengambil alih waktu kegiatan yang menuntut daya berpikir seperti membuat pekerjaan rumah dan belajar. Pengambilalihan waktu ini terjadi karena televisi dengan efek ganda audio-visualnya lebih menarik perhatian anak-anak daripada kegiatan yang berkaitan dengan sekolah.
Ketiga, hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa menonton televisi tidak terlalu membebani secara mental jika dibanding dengan kegiatan lain seperti membaca, misalnya. Dalam hal ini, hipotesa “mental-effort”[30] dan “passivity”[29] menyatakan bahwa anak-anak menjadi pasif mental sewaktu menonton televisi sehingga menuntun sikap ke arah malas mental. Cuplikan-cuplikan gambar pada program-program televisi relatif berjalan dengan cepat membuat anak-anak tidak terlatih untuk mencerna dan merenungkan (reflective thinking) apa yang ditontonnya.
Menurut hasil penelitian, semakin banyak waktu yang digunakan oleh anak-anak menonton televisi, semakin malas mereka untuk memenuhi tuntutan akademis sekolah. Ini boleh jadi disebabkan oleh lebih menyenangkannya acara televisi tersebut isamping relatif mudah untuk dicerna dan dimengerti. Kondisi malas mental inilah yang membuat anak-anak tersebut menjadi kurang berminat untuk menjalani kegiatan yang menuntut fungsi mental seperti membaca dan memecahkan soal matematika suatu bidang mata pelajaran yang menuntut daya kerja mental.
Keempat, hipotesa “attention”[31] dan “arousal”[4] mengusulkan bahwa televisi menimbulkan dampak negatif pada pencapaian akademis. Kedua hipotesa ini menjelaskan bahwa menonton televisi menimbulkan perilaku impulsif yang secara langsung atau tidak langsung akan menurunkan pencapaian akademik. Ini diakibatkan oleh pendeknya waktu tayangan potongan-potongan gambar dan pergerakan yang ditayangkan dalam acara televisi. Kondisi yang demikian ini juga yang menyebabkan jadi pendeknya daya konsentrasi (attention span) anak-anak sehingga sulit bagi mereka untuk mempertahankan konsentrasi dalam kegiatan belajar di dalam kelas, sehingga akan mempengaruhi pencapaian akademis mereka.
B. Pengaruh terhadap Fungsi Kognitif Otak
Televisi memiliki pengaruh kepada perkembangan saraf dan otak anak. Nampaknya, tidak berbahaya dan bahkan hasil kerjanya mengagumkan akan tetapi daya kerja tersebut tidak netral. Hasil kerja mekanisme-mekanisme diatas, tampak pada dampak langsung yang dihasilkan oleh menonton televisi terhadap perkembangan kemampuan belajar seperti yang diuraikan berikut ini.
1. Perkembangan kemampuan berpikir serta berimaginasi
Satu unsur yang penting berpikir adalah kemampuan mengekstrapolasi pengetahuan yang telah dimiliki dan menerapkannya pada situasi yang berbeda. Proses pembelajaran di sekolah menuntut kemampuan tersebut namun menonton televisi tidak. Ditemukan bahwa mereka yang belajar dari televisi menaruh minat dan usaha yang lebih kecil untuk belajar dari buku sehingga cenderung jadi kurang membaca dan pencapaian akademisnya relatif lebih rendah.
Televisi membiasakan anak kepada stimulus ganda yaitu suara dan gambar.[32] Dengan seringnya terpapar ke suara dan gambar yang bertukar-tukar dengan cepat mengkondisikan anak untuk terbiasa dengan situasi itu, sehingga mengharapkan kondisi yang sama di kegiatan lainnya, terutama kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sekolah, murid akan diminta untuk berbicara, mendengarkan guru yang sedang mengajar, mengerjakan pekerjaan kelas atau membaca, dan tidak satu pun diantara kegiatan ini yang memiliki stimulus ganda suara gambar yang diberikan oleh televisi.
Penelitian di Kanada dilakukan oleh Dr. T. M. Williams,[33] di suatu kota yang sangat terpencil yang pada waktu itu belum dimasuki pesawat televisi. Kreativitas populasi itu diukur sebelum masuknya televisi ke kota kecil itu. Pengukuran yang sama dilakukan 2 (dua) tahun setelah televisi masuk kesana. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kreativitas anak-anak dan orang dewasa menurun 20% setelah menonton televisi selama 2 tahun kemudian tersebut.
Dr. J. L. Wheeler[33 bahkan mengatakan bahwa mahasiswa yang dibesarkan tanpa menonton televisi lebih kreatif dan kemampuan kognitifnya lebih besar dibanding dengan rekannya yang dibesarkan dengan menonton televisi. Kemampuan berpikir tidak terasah karena dengan menonton televisi anak tidak perlu lagi membayangkan sesuatu atau membangun unsur konseptual seperti halnya ketika membaca buku dan mendengar musik atau siaran acara drama di radio. Oleh karena menonton adalah kegiatan yang bersifat pasif dan tidak membangun unsur konseptual karena menonton hampir tidak membutuhkan "proses berfikir."
Dari satu segi menonton hanya memberikan hiburan. Maka tidak terlalu mengherankan jika jam menonton televisi dan bermain games anak Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan jam belajar atau membaca.
Kebiasaan menonton televisi juga menghambat perkembangan kemampuan untuk berimaginasi. Pembentukan kemampuan anak untuk berimaginasi dirangsang oleh kegiatan memikirkan buku yang sedang dibaca, cerita yang dia sedang dengarkan, percakapan yang dia sedang lakukan, kegiatan di sekolah atau sekedar memandang alam.
Media massa melaporkan bahwa Chritopher Paolini, salah satu penulis fiksi terlaris yang karyanya telah difilmkan yang berjudul “Eragon,” dibesarkan di keluarga yang tidak memiliki televisi.[34] Dia disekolahkan di rumah sendiri (home schooling). Ini dapat dijadikan jadi sebuah argumentasi bahwa televisi boleh jadi tidak memiliki peran besar dalam meningkatkan kreativitas penulis yang sangat kreatif ini.
2. Durasi dan kemampuan berkonsentrasi
Gambar-gambar dalam media televisi, terdiri atas potongan-potongan gambar yang bergerak dan berubah cepat, zoom-out dan zoom-in yang intensif, dan kilas lampu yang sangat cepat di televisi, di samping sistem kemunculan gambar yang tidak kontinu, menjadikan pola kerja otak anak-anak tidak teratur sehingga akan menganggu kemampuan konsentrasi anak.[31]
Acara televisi biasanya di potong oleh jeda pariwara komersil setiap rata-rata tujuh menit. Dengan terbiasa sering menonton televisi, maka mau tak mau si anak dikondisikan untuk memiliki durasi konsentrasi sependek itu juga. Anak-anak yang dalam kurun usia 4-8 tahun diharapkan memiliki attention span yang pendek, namun akan meningkat seiring dengan penambahan usia.[35] Jika peningkatan ini tidak terjadi maka anak tersebut akan sangat dirugikan karena akan memiliki kesulitan untuk berkonsentrasi di kelas ketika sedang mendengarkan pengajaran di sekolah.
Sejumlah akademisi berkelakar bahwa di tingkat universitas, salah satu alasan mengapa dosen mengajar dengan multimedia dengan unsur stimulus suara-gambar, adalah agar dapat mempertahankan perhatian dan konsentrasi para mahasiswa yang telah dibesarkan dengan televisi.
3. Perkembangan keterampilan membaca
Penelitian oleh Reinking & Wu[36] menunjukkan bahwa anak-anak yang menonton televisi lebih dari 3 jam per hari memiliki kemampuan paling rendah untuk membaca. Seorang anak yang sedang belajar membaca, pada saat yang sama juga belajar menggerakkan bola matanya secara horisontal dan vertikal di sepanjang halaman buku yang sedang dia baca.
Akan tetapi, pada saat menonton televisi, hal yang berbeda yang terjadi. Pada saat menonton televisi mata penonton hanya tertuju pada satu titik yaitu layar televisi. Kegiatan satu jam menggerakkan bola mata sewaktu belajar dan membaca di ruang kelas tidak setimpal dengan 4-5 jam menonton televisi dengan bola mata tidak bergerak karena hanya tertuju ke layar televisi tersebut. Itulah sebabnya menonton televisi dapat mengganggu perkembangan keterampilan membaca.
4. Kemampuan berbicara
Boleh jadi anak-anak mendengar kosakata yang baru dari televisi, namun mendengar tidak sama dengan mengucapkan. Umumnya, kemampuan berbicara anak dimulai dengan mengucapkan kata tunggal lalu berkembang menjadi kalimat, kemudian menjadi rangkaian kalimat.
Membacakan cerita kepada anak dan berbicara kepadanya langsung merangsang perkembangan kemampuan berbicara. Sangat jarang bagi anak-anak untuk otomatis bertambah pandai berbicara hanya karena dia bertambah usia.
Seorang anak yang menggunakan waktu 4 jam menonton televisi kehilangan 4 jam kesempatan untuk berbicara sehingga lebih sulit bagi dia untuk jadi lebih fasih dalam berbicara. Anak ini akan berbicara dengan rangkaian kalimat yang tidak lengkap dibanding dengan anak yang “tidak pernah berhenti berbicara.”[36]
5. Prestasi Sekolah
Banyak menonton televisi mengakibatkan prestasi buruk di sekolah.[37] Ini dapat disebabkan oleh hal-hal yang telah dibahas sebelumnya yang secara langsung mau pun tidak langsung mempengaruhi daya kerja kognitif otak. Diantaranya adalah kurangnya waktu untuk belajar dan membuat PR, menjadi lebih pasif dan tidak memiliki perhatian penuh terhadap pelajaran di sekolah, sulit untuk berkonsentrasi dan tidak berusaha keras untuk memecahkan masalah, cenderung meniru-niru adegan kekerasan dan perilaku antisosial yang ditontonnya dan cenderung mengantuk di sekolah keesokan harinya sehingga sulit berkonsentrasi.
Hal ini benar, sebab menonton televisi mempengaruhi pola tidur dan stres emosional membuat anak sulit tidur dan sering mimpi buruk. Dengan demikian, menonton televisi hingga larut malam akan menimbulkan efek kurang tidur pada anak keesokan harinya. Dia akan mengantuk di kelas, dan akan sulit bagi dia untuk menyimat pelajaran di kelas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh D. Borzekowski dkk.[37] dari Johns Bloombert School of Public Health menunjukkan bahwa pada siswa kelas 3 SD dengan usia rata-rata 8 tahun yang memiliki unit televisi sendiri di kamarnya lebih rendah hasil ujiannya setelah diuji dengan ujian terstandarisasi, jika dibanding dengan teman sekelasnya yang tidak memiliki unit televisi sendiri di kamarnya. Hasil yang sama juga ditemukan oleh K. McCoy[38] Menurut laporan departemen pendidikan negara AS,[39] pencapaian akademis turun drastis pada anak-anak yang menonton lebih dari 10 jam setiap minggunya.
Penelitian atas dampak televisi terhadap kemampuan memecahkan soal matematika oleh siswa sekolah menengah menunjukkan hubungan terbalik antara keduanya. Dengan kata lain, semakin lama seorang anak terbiasa menonton televisi maka semakin turun pula kemampuannya untuk memecahkan soal matematika.[40]
V. REKOMENDASI PEMECAHAN MASALAH
Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur dimana kata “maju” dijelaskan sebagai kondisi dimana sumber sumber daya manusianya berakhlak mulia dan berkualitas. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah salah satu penekanan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) ke-2 (2010-2014) dan ini selaras dengan kesepakatan MDGs dan A World Fit for Children (WFFC) pada tahun 2005, dan pencanangan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2005-2015.
Dalam RJPM ini juga digariskan bahwa salah satu indikator peningkatan kesejahteraan rakyat adalah membaiknya kelembagaan perlindungan anak. Ini penting mengingat anak adalah generasi penerus bangsa dan kualitas masa depan bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas generasi ini.[41] Kualitas generasi penerus sangat ditentukan oleh perlindungan yang mereka dapatkan dari hal-hal yang tidak mendukung dan bahkan merongrong perkembangan jiwa, psikososial dan fungsi kognitif otak mereka.
Kapasitas kelembagaan perlindungan anak masih terbatas dan tantangan yang harus dihadapi dalam meningkatkan efektivitas perlindungan anak adalah: meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan sinkronisasi kebijakan yang terkait dengan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan penegakan hukum yang terkait dengan perlindungan bagi anak terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi; dan meningkatkan kapasitas kelembagaan, ketersediaan data dan informasi, koordinasi pelaksanaan, dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak.[42]
Telah tersurat dan tersirat di pembahasan sebelumnya bahwa ada bahaya laten dalam dampak negatif televisi atas perkembangan jiwa, psikososial serta fungsi kognitif otak anak.
Oleh karena itu generasi penerus penentu kualitas masyarakant Indonesia ini perlu dilindungi dari bahaya tersebut. Untuk mengatasi masalah ini maka sedikitnya ada dua unsur yang perlu ditanggulangi yaitu, jenis tayangan dan durasi menonton. Aturan dan kebijakan tentang jenis tayangan dapat digariskan oleh lembaga-lembaga terkait yang memiliki kewenangan.
Sedangkan pengaturan durasi menonton dapat dilakukan semua pihak yang berkepentingan seperti sekolah dan orang tua yang disosialisasikan kepada mereka sekaligus sewaktu mengikuti program penyuluhan tentang dampak negatif menonton televisi.
Di Indonesia, sedikitnya ada sepuluh pihak yang terkait dalam pemecahan masalah ini. Kesepuluh pihak ini pula yang dapat bermufakat dan bekerjasama untuk mencarikan serta menerapkan solusi. Para pihak yang bertanggung jawab ini adalah:
1). BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)
2). DPR (Badan Legislatif Indonesia)
3). KEMENDIKNAS (Kementerian Pendidikan Nasional)
4). KPI (Komisi Penyiaran Indonesia)
5). IMW (Indonesian Media Watch)
6). KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
7). LSF (Lembaga Sensor Film)
8). Industri Pertelevisian
9). Lembaga Pendidikan (Sekolah)
10). Orang tua (Keluarga)
1. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI (Bappenas)
Telah dijabarkan di bagian sebelumnya bahwa televisi dapat memberikan pengaruh negatif bagi pertumbuhan jiwa, psikososial dan fungsi kognitif otak anak. Dalam garisan Arah Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Ke-2 banyak penekanan diberikan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan sementara yang notabene adalah anak sebagai korban kekerasan. Boleh jadi unsur ini telah menjadi bagian implisit dari garisan tersebut.
Akan tetapi, penulis merasa bahwa perlu juga ada pernyataan eksplisit penekanan perlindungan anak dari pengaruh yang dapat mengkondisikan mereka menjadi pelaku kekerasan yang dimaksud dalam garisan tersebut. Yaitu suatu perlindungan melembaga yang melindungi mereka dari pengaruh negatif bagi pertumbuhan jiwa, psikososial dan fungsi kognitif otaknya.
2. Badan Legislatif Indonesia (DPR)
Lembaga legislatif tertinggi di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Rakyat telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32/2002 yang menjadi payung kerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini telah mengamanatkan partisipasi publik dalam pengawasan isi siaran. Namun sosialisasi amanah ini perlu ditingkatkan agar masyarakat luas lebih proaktif partisipatif dalam memainkan perannya.
Keputusan ini adalah bagian dari upaya untuk mendewasakan masyarakat kita dengan menumbuhkan kesadaran “selfcensorship” yang belum terbentuk sepenuhnya di masyarakat kita. Peran masyarakat yang digariskan oleh lembaga legislatif ini lebih menekankan pada peran sebagai pengawas (objek). Sebaiknya, perlu juga penekanan pada peran masyarakat sebagai pengusul dan pemrakarsa (subjek) tayangan yang membangun.
3. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
Kemungkinan sudah saatnya Kemendiknas mempertimbangkan kebijakan menganjurkan jam sekolah yang lebih panjang agar kegiatan para siswa setelah usai sekolah lebih terkontrol. Sudah ada sekolah yang mengharuskan muridnya untuk tetap tinggal di sekolah setelah jam kelas untuk kegiatan ekstrakurikuler mau pun belajar dan membuat PR bersama. Jam keluar muridnya disesuaikan dengan jam keluar kantor orang tuanya agar mereka bisa pulang dengan orang tua, atau sedikitnya orang tua akan ada di rumah untuk menemani mereka ketika mereka pulang.
Kemendiknas dapat juga mengambil inisiatif dan membuat garisan penuntun yang dapat dijadikan standar tayangan televisi yang bersifat edukatif dan membangun akhlak.
4. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Peran lembaga independen ini untuk melakukan pengawasan atas isi siaran sangatlah krusial. Lembaga ini juga berperan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan forum Lembaga Pengawas Media (Media Watch) agar Indonesian Media Watch ini dapat lebih diakui keberadaan dan perannya oleh masyarakat luas. KPI juga berkewajiban untuk menyebarluaskan respon pihak industri pertelevisian terhadap teguran yang diberikan terkait dengan isi siaran yang bermasalah. Sebab boleh jadi akan ada saja pihak pertelevisian yang tidak kooperatif walau telah mendapat teguran.
5. Indonesian Media Watch (IMW)
Lembaga nirlaba ini muncul dari masyarakat dan memiliki misi untuk “Memantau, mengawasi dan mendorong industri media agar memiliki perspektif kemanusiaan dan ikut melakukan perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih baik....” dan visi “Untuk membangun sistem pengawasan terhadap tayangan media cetak, elektronik serta mengawal perkembangan industri media.” [43]
Keberadaan dan perannya perlu disosialisasikan agar mendapat pengakuan lebih luas dari masyarakat sehingga lebih mapan dalam memainkan perannya.
6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Lembaga ini bersifat independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapa dan darimana serta kepentingan apapun, kecuali satu yaitu “ Demi Kepentingan Terbaik bagi Anak ” seperti diamanatkan oleh CRC (KHA) 1989.[42]
Komisi ini telah menunjukkan kiprah yang proaktif dalam perlindungan anak dari kekerasan fisik, perlakuan tidak adil, lingkungan yang mengancam kesehatan fisiknya seperti asap rokok, misalnya. Misi nomor urut 3 lembaga ini berbunyi: “Melakukan penelaahan, pemantauan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak,” dan nomor urut 2 berbunyi: “Menerima pengaduan masyarakat.”[43] Substansi kedua misi ini relevan dengan upaya perlindungan anak terhadap bahaya dampak negatif televisi. Adalah tepat jika lembaga ini menunjukkan secara eksplisit akan kepeduliannya terhadap gangguan perkembangan anak yang diakibatkan oleh televisi sehingga dapat bersinergi dengan lembaga-lembaga terkait lainnya.
7. Lembaga Sensor Film (LSF)
Sepatutnya Lembaga Sensor Film lebih ketat dalam pelaksanaan tugasnya sebagai badan sensor, yang bertugas bukan hanya menentukan kepatutan tontonan yang disuguhkan ke masyarakat dan bukan hanya sekedar memotong kata-kata kasar, jorok, dan umpatan yang kadang kala diucapkan oleh anak-anak berseragam merah putih di lingkungan sekolah yang menjadi setting cerita dalam film televisi tersebut. Perlu juga diupayakan suatu persamaan persepsi tolok ukur kesopanan, kepantasan dan kesusilaan dalam tayangan, antara LSF dan lembaga independen lainnya.
8. Industri Pertelevisian
Dapat dipahami bahwa eksistensi industri pertelevisian adalah murni untuk bisnis semata sehingga tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya.
Kemungkinan, tujuan utama inilah yang mendorong industri ini untuk tidak terlalu berfokus pada nilai-nilai edukatif acara televisi. Namun, industri pertelevisian akan dapat dipengaruhi oleh respon para konsumen atas acara yang mereka tayangkan. Oleh karena itu suatu kontrol sosial dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai konsumen tayangan industri ini. Masyarakat yang merasa dirugikan oleh acara-acara televisi dapat secara proaktif menyuarakan keinginan mereka untuk disuguhi tayangan yang sehat dan mencerdaskan.
9. Lembaga Pendidikan (Sekolah)
Seorang pakar pendidikan3 mengatakan: “Pengaruh orang tua dan guru terhadap anak akan sangat berkurang jika, televisi adalah teman karibnya di rumah.” Oleh karena itu televisi adalah pesaing unggul pengaruh orang tua terhadap anaknya. Jika pengaruh orang tua bagi anak menjadi sangat berkurang, logis jika kita mengatakan bahwa pengaruh guru pada anak itu pun kemungkinan besar akan berkurang.
Sekolah dapat bekerjasama dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) serta IMW (Indonesian Media Watch), untuk menjadi juru kampanye dalam upaya menciptakan masyarakat menjadi lebih melek media. Melalui organisasi Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG), sekolah berperan penting dalam mensosialisasikan dampak buruk acara-acara televisi yang tidak mendukung dan bahkan merongrong pertumbuhan jiwa, psikososial serta fungsi kognitif otak. Kegiatan ini dapat juga digunakan sekolah untuk dalam mensosialisasikan peran masyarakat dalam mengontrol penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan media penyiaran sebagaimana tertuang dalam UU Penyiaran Bab VI pasal 52 ayat (3).
10. Keluarga (orangtua)
Ujung tombak pengendalian jenis tayangan dan durasi menonton lebih pada keluarga umumnya dan orangtua khususnya, sebab kebanyakan dari 24 jam setiap harinya dihabiskan anak-anak di rumah mereka masing-masing. Pengawasan orangtua (parental guiding) dilakukan secara sadar oleh sebagian besar orangtua di luar negeri, di negara-negara maju karena umumnya tidak ada pengasuh atau pembantu rumah tangga disana. Tanggungjawab ini perlu lebih disosialisasikan kepada para orang tua di Indonesia agar lebih merasa bahwa tanggungjawab pendidikan anak itu berada di tangan mereka bukan pembantu atau babysitter.
Berikut ini adalah usulan upaya yang dapat dilaksanakan di rumah untuk mengurangi dampak negatif acara-acara televisi pada anak-anak. Usulan-usulan ini dikumpulkan dari para orang tua, pengamat, pakar dan bahkan anak-anak juga, dan dapat dirangkumkan ke dalam tiga kelompok upaya yaitu “menghentikan, mengurangi dan mengawasi.”
a. Jika tidak bisa dihentikan sama sekali, maka frekuensi dan durasi menonton televisi dapat dikurangi demi mengurangi dan bahkan mencegah dampak kurang baik kegiatan tersebut. Anak perlu diberi pengertian tentang jenis acara televisi yang pantas dan yang tidak pantas ditonton dan ini adalah standar yang tidak bisa ditawar-tawar.
b. Buat kesepakatan dengan anak tentang jadwal menonton televisi harian dan mingguan yang wajib diikuti oleh anak. Ini mengajarkan pada anak untuk bertanggung jawab menyeleksi dan menyusun jam menonton televisi mereka sehingga anak-anak pun akan menjadi penonton yang aktif, cerdas dan dewasa.
Perlu juga disepakati bersama, sangsi yang dikenakan kepadanya jika melanggar kesepakatan itu dan jika ia menonton di rumah tetangga. Jika ada acara televisi yang ditayangkan pada waktu yang tidak cocok dengan jadwal menonton yang telah disepakati, rekam lalu tayangkan acara tersebut pada waktu yang memungkinkan.
c. Buat anak-anak sibuk dengan hal-hal yang lebih produktif seperti kegiatan les musik, seni, olahraga serta kegiatan ekstrakuler lainnya, serta kegiatan bersama di rumah misalnya, seperti bermain bersama dan membaca bersama.
d. Jangan buat jadwal menonton televisi bertabrakan dengan jadwal kegiatan bersama seperti makan bersama, bermain bersama, belajar dan membuat PR serta kegiatan bersama lainnya, kecuali kegiatan bersama itu adalah kegiatan menonton bersama.
e. Sedapat mungkin orang tua menonton bersama dengan anaknya agar dapat mengawasi apa yang ditonton anak.
f. Jika memungkinkan jangan jadwal menonton televisi sewaktu matahari masih bersinar. Ini akan mendorong anak untuk bermain di luar rumah dengan anak-anak seusianya untuk pergerakan fisik dan interaksi sosial.
g. Jangan sediakan unit televisi di kamar anak-anak. Ini penting sebab anak akan punya akses ke televisi yang ada di kamarnya sendiri dan merasa bebas menentukan tayangan apa yang dapat dia tonton.
h. Jangan ijinkan anak menonton lebih dari 2 jam/hari.
Memberangus semua stasiun televisi yang kurang kooperatif dalam menjaga kualitas tayangannya mungkin bukanlah langkah yang paling tepat. Tidak memiliki televisi di rumah juga bukan pilihan yang pas. Namun, dengan niat dan kemauan yang tepat semua pihak dapat bersinergi untuk mencarikan solusi yang baik bagi permasalahan ini. Masing-masing pihak dapat melakukan tanggungjawabnya menurut ruang lingkup jurisdiksinya.
Tampaknya, penekanan peran masing-masing lembaga terkait diatas lebih pada tindakan pengawasan korektif terhadap tayangan yang tidak baik. Hendaknya perlu dilakukan pergeseran paradigma agar lebih menekankan pada tindakan menggagas dan memprakarsai substansi tayangan yang baik. Dengan kata lain, gantinya menekankan pada usulan mengurangi tayangan negatif, ada baiknya juga menekankan penambahan jumlah tayangan yang positif.
11. Penelitian Lanjutan
Perlu diadakan penelitian yang lebih komprehensif dan terkini atas kebiasaan menonton televisi dari segi durasi menonton, jenis tontonan yang ditonton serta persentase tayangan televisi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan paripurna anak yang disediakan oleh industri pertelevisian saat ini. Temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan bahan pertimbangan kebijakan-kebijakan terkait.
VI.KESIMPULAN
Televisi adalah seperti pisau yang dapat bermanfaat untuk kebaikan atau bisa berbahaya jika penggunaannya tidak terkendali. Oleh karena itu kuasa negatif televisi ini perlu dikurangi atau dialihkan ke hal-hal yang mendidik dan membangun. Menonton televisi dapat berubah menjadi kegiatan positif dan produktif jika yang ditonton adalah acara yang bersifat mendidik, dan kegiatan menonton itu tidak menggantikan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang program sekolah. Banyak pihak yang dapat dilibatkan untuk bersinergi menjadikan menonton televisi lebih memberi manfaat positif bagi pertumbuhan dan perkembangan paripurna generasi penerus bangsa. Ini penting, sebab kualitas bangsa ini ditentukan oleh kualitas jiwa, psikososial dan mental serta kemampuan kognitif generasi penerusnya.
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. www.kidia.org. diakses September 2008
2. www.bps.go.id. diakses September 2008
3. Cohen DA, Richardson J, LaBree L. Parenting behaviours and the onset of smoking and alcohol use: a longitudinal study. Pediatrics 1994;94(3):368-375.
4. MacBeth, TM (1996). Indirect effects of television: Creativity, persistence, school achievement and participation in other activities. In TM MacBeth (ed), Tuning in to young viewers: Social science perspectives on television (pp. 149-220). Thousand Oaks, CA: Sage
5. Kompas, 22 Juli 2002.
6. Gentile, DA, DA Walsh (2002). A normative study of family media habits. Applied Developmental Pshchology, 23, 157-158
7. Harry Susianto, Kompas 28 Maret 2003
8. Wicaksono Nooradi, Kompas 15 Juli 2004
9. Effendi Gazali, Kompas 26 Agustus 2003
10. Kompas, 25 Agustus 2003
11. Wright, JC, AC Huston, KC Murphy, M Peters, M St Pinon, R Scantlin, J Kotler (2001). The relations of early television viewing to readiness and vocabulary of children from low-income families: The early window project. Child Developemet, 72, 1347-1366.
12. Reinking, D and J Wu (1990). Reexamining the research on television and reading. Reading Research and Instruction, 29, 30-34.
13. Anderson, DR, AC Huston, KL Schmitt, DL Linebarger, JC Wright (2001). Early childhood television viewing and adolescent behavior: The recontact study. Monographs of the Society for Research in Child Development, 66, (Serial No. 264).
14. Martini F. Fundamentals of Anatomy & Physiology. Upper Saddle River, NJ:Prentice Hall, 2001 p 493.
15. Mander J. Four Arguments for the Elimination of Television. New York, NY:Quill, 1997 p. 210.
16. Mander J. Four Arguments for the Elimination of Television. New York, NY:Quill, 1997 p. 197.
17. Mander J. Four Arguments for the Elimination of Television. New York, NY:Quill, 1997 p. 209.
18. Mander J. Four Arguments for the Elimination of Television. New York, NY:Quill, 1997 p. 211.
19. Toffler A. Future Shock. New York, NY:Random House Inc.,1970.
20. Brice, R and P Fischer (1983). Mitigating the imitation of aggressive behaviors by changing children’s attitudes about media violence. Journal of Personality and Social Psychology, 44, 899-910.
21. Stuss DT, Benson D. The Frontal Lobes. New York: Raven Press, 1986 p. 204
22. Waite BM, Hillbrand M, Foster HG. Reduction of aggressive behavior afte removal of music television. Hosp Community Psychiatry 1992;43(2):173-175.
23. B. Gunarto, Yayasan Pengembangan Media Anak. Komunikasi TV Sehat, 11 Juli 2006.
24. Rebecca, LC, MN Elliott, SH Berry, DE Kanouse, D Kunkel, SB Hunter and A Miu (2004). Watching sex on television predicts adolescent initiation on sexual behavior. Pediatrics, 114:280-289.
25. Aris Kelana. Gatra, No 44/V, 18/9/1999.
26. Rubenstein EA. Television and Behavior, Research Conclusions of the 1982 NIMH Report and Their Policy Implication. American Psychologist, 1983 p. 820-825.
27. Bandura, A. (1994). Social cognitive theory of mass communication. In J. Bryant & D. Zillmann (eds), Media effects: Advances in theory and research (pp.61-90). Hilldale, NJ: Erlbaum.
28. Huesmann, LR (1986). Psychological processes promoting the relation between exposure to media violence and aggressive behavior by the viewer. Journal of Social Issues, 42(3), 125-140.
29. Valkenburg, PM and THA van der Voort (1994). Influence of television on daydreaming and creative imagination: A review of research. Psychological Bulletin, 116(2), 316-339.
30. Kooltra, C and THA van der Voort. (1996). Longitudinal effects of television on children’s leisure-time reading: A test of three explanatory model. Human Communication Research, 23, 4-35
31. Anderson, DR, AC Huston, KL Schmitt, DL Linebarger, JC Wright (2001). Early childhood television viewing and adolescent behavior: The recontact study. Monographs of the Society for Research in Child Development, 66, (Serial No. 264).
32. Singer, DG and JL Singer (2001). The popular media as educators and socializers of growing children. In DG Singer and JL Singer (eds). Handbook of children and the media (pp. 1-6). Thousand Oaks, CA: Sage.
33. Wheeler, JL (1993). Remote Controlled: How TV Affects You and Your Family. Hagerstown, MD: Review and Herald Publishing Association, p. 39.
34. www.eragon.com/author. Diakses Oktober 2008.
35. Healy, J (1990). Chaos on Sesame Stree. American Educator, 14(4), 22-29
36. Reinking, D and J Wu (1990). Reexamining the research on television and reading. Reading Research and Instruction, 29, 30-34.
37. Borzwkowski, DLG, TN Robinson (2005). The remote, the mouse and the no. 2 Pencil: the household media environment and academic achievement among third grade students. Arch Pediatr Adolesc Med. 159:677-613
38. McCoy, K. Television in bedroom and academic achievement test. (2006). Psychology and Development Societies. 18(2):214-218.
39. Chernin, AR, DL Linebarger. The relationship between children’s television viewing and academic performance. Arch Pediatr Adolesc Med. 159:687-689.
40.Shejwal, BR. Television viewing of higher secondary students (2006). Psychology and Development Societies. 18(2):201-213.
41. Bappenas RI. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Buku I: Prioritas Nasional. dan Buku II Bab 1 Hal. II.1-47
42. Komisi Perlindungan Anak. Website: www.kpai.or.id diakses Oktober 2010.
43. Indonesian Media Watch. Website: www.imw-file.blogspot.com diakses September 2010.
Source : supportunicefindonesia.org/childprotection-AlbertHutapea-makalah.pdf