Revolusi politik di Mesir dan Tunisia boleh saja menjadi pemicu revolusi yang kini tengah melanda Libya. Namun sebenarnya revolusi tersebut telah disemai sejak tahun 1996 oleh sebuah peristiwa “kecil”.
Kala itu Moammar Qadaffi membantai 1.200 tahanan politik di penjara Abu Saleem dekat Tripoli. Beberapa tahun terakhir, sebagaimana keluarga korban diktator Pinochet di Chili melakukan aksi protes tahunan “dansa sendiri” di Santiago, beberapa keluarga korban pembantaian penjara Abu Saleem melakukan aksi demonstrasi damai menuntut keadilan di kota Benghazi.
Pada tgl 14 Februari, didorong oleh aksi-aksi revolusi di berbagai beberapa negara tetangga, demonstrasi para korban pembantaian penjara Abu Saleem berlangsung lebih ramai. Kali ini dilaksanakan di depan markas milisi di Lapangan Berka. Keesokan harinya pemerintah menangkap Fathi Terbl, pengacara yang mewakili tiga kaluarga korban pembantaian Abu Saleem yang juga memiliki saudara kandung yang menjadi korban pembantaian tersebut.
Penangkapan tersebut memicu kemarahan keluarga korban dan warga yang bersimpati pada mereka. Merekapun melakukan aksi protes lebih besar yang dihadiri ratusan demonstran. Pasukan keamanan beraksi keras dengan menembaki para demostran di Lapangan Berka, menewarkan sekitar 20 demonstran.
Bensin telah disiramkan. Benghazi pun berkobar. Qadaffi menghadapi aksi kerusuhan dengan mengirimkan tentara bayaran dari Afrika (Libya adalah bangsa Arab yang secara etnis berbeda dengan orang-orang Afrika) yang sebagai penyamaran mengenakan seragam pekerja konstruksi dengan helm warna kuningnya. Sebagian tentara bayaran itu bahkan mengenakan seragam militer. Tanpa sungkan mereka menembaki demonstran di jalan-jalan dengan berbagai senjata ringan hingga berat termasuk meriam anti-pesawat dan RPG yang digunakan untuk menghancurkan tank. Tank-tank pun menembakkan meriamnya. Tidak hanya itu, bahkan pesawat-pesawat terbang pun dikerahkan untuk membomi para demonstran. Untuk menteror warga, para tentara bayaran itu juga membunuhi warga dengan parang dan kayu pemukul dan menggantung mayat korbannya di jalanan. Mereka bahkan menembaki warga yang tengah mengadakan upacara pemakaman atau beribadah di masjid.
Namun aksi biadab tersebut justru memicu warga, terutama para pemudanya, untuk melawan dengan gigih, bersenjata batu dan apapun yang bisa diraih. Mereka yang telah melihat bagaimana ketidak adilan telah diberikan Qadaffi kepada rakyatnya. Dengan penghasilan minyak yang mestinya bisa memberi mereka pendapatan per-kapita $10.000 setahun, sebagian besar rakyat Libya hidup dengan kurang dari $2 dolar sehari. Sementara keluarga Qadaffi diketahui rakyatnya menjalani hidup yang super mewah.
Saadi Gaddafi, putra ketiga Qadaffi kemudian dikirim untuk menenangkan warga dan tiba di Benghazi tgl 17 Februari. Kepada para demonstran ia berjanji akan melakukan reformasi dan mengajak berdialog. Namun ia menolak permintaan warga untuk menyingkirkan aparat keamanannya dari jalanan.Maka dialog pun terhenti dengan sendirinya dan pertempuran kembali meledak.
Lapangan Berka dan jalan-jalan Benghazi pun berubah menjadi medan perang. Dan dengan bantuan para tentara yang membelot setelah melihat pembantaian keji, rakyat lah yang akhirnya menjadi pemenangnya. Kemenangan rakyat juga terjadi di beberapa kota lainnya.
Kini Qadaffi dan keluarga, pendukung-pendukungnya dan tentara-tentara bayaran Afrika masih bertahan di satu-satunya kota yang masih dikuasai mereka, Tripoli. Qadaffi berikrar untuk mati mempertahankan kekuasaannya. Ikrar tersebut hampir dipastikan bekal dipenuhinya tidak lama lagi.
Info ini dapat dari cahyono-adi.blogspot.com