Sehari setelah pidato soal pentingnya demokrasi di Burma (Myanmar), Presiden AS Berack Obama pernah mengatakan tentang “sepenuhnya mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri",.
Di tengah pembicaraan tentang kemungkinan gencatan senjata yang dimediasi Mesir, dan laporan Haaretz tentang persiapan kemungkinan serangan darat Israel, sulit menebak apa yang bakal terjadi kemudian.
Gedung Putih menyatakan Obama telah berbicara dengan Netanyahu dan Presiden Mesir, Muhammad Mursi, tentang cara dan bagaimana meredakan situasi. Mungkin khawatir serangan besar-besaran—terutama darat—bakal dihentikan sebelum mencapai target.
Dan di hari ketujuh, Rabu (21/11), korban sipil di Gaza terus berjatuhan. Hampir 150 orang tewas, dan 1.000-an lainnya terluka.
Media-media Barat kompak bak paduan suara, menggambarkan serangan Israel di Gaza sebagai operasi Angkatan Bersenjata Israel (IDF) untuk "membela diri" atas serangan roket Palestina ke wilayah Yahudi tersebut.
Padahal, sejumlah laporan menyatakan Obama—jelang pilpres AS awal November lalu—telah memberikan lampu hijau ke Tel Aviv tentang keterlibatan langsung pemerintah dan militer AS dalam perencanaan dan pelaksanaan serangan terhadap Gaza.
Pakar ekonomi (emeritus) Universtitas Ottawa dan penasihat sejumlah negara berkembang, Michel Chossudovsky, mengatakan ada bukti yang menunjukkan digelarnya operasi "Pillar of Cloud" berhubungan erat dengan Washington, dalam konteks yang lebih luas daripada sekedar proses perencanaan militer dua sekutu abadi tersebut.
“Sejumlah pejabat senior militer AS berada di lokasi (Israel), bekerjasama dengan rekan-rekan mereka di IDF, beberapa hari menjelang serangan,” beber Chossudovsky di situs Globalresearch.ca.
Operasi Pillar of Cloud (Tiang Awan) diluncurkan pada 14 November, tepat sepekan setelah pemilihan presiden AS. Serangan ini, kata Chossudovsky, telah ditetapkan dan bakal diluncurkan. Terlepas dari apa pun hasil pemilu AS.
Tindakan pertama adalah pembunuhan pemimpin sayap militer Hamas, Ahmad al-Jabari. Selanjutnya, operasi bakal berkembang menjadi pengeboman umum dan invasi darat yang melibatkan penyebaran sekitar 75.000 serdadu Zionis. [1]Game Perang AS-Israel
Hal signifikan dalam menilai keterlibatan AS pada Operasi Pillar of Cloud adalah fakta bahwa sebulan sebelum serangan, AS dan Israel terlibat dalam game perang gabungan terbesar dalam sejarah Israel.
Tujuannya, kata Chossudovsky, untuk menguji sistem pertahanan rudal Israel terhadap serangan dari jauh dan dekat, yaitu Hizbullah (Iran) dan Hamas.
Menteri Pertahanan AS Leon Panetta dan Menhan Israel Ehud Barack telah menjalin komunikasi intim. Awal Agustus lalu, Panetta berada di Israel. Sebulan kemudian, dia kembali ke Tel Aviv pada 3 Oktober, dua pekan sebelum latihan militer bersama yang disebut “US-Israeli Austere Challenge 12”. [2]
Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta (kiri) dan Menhan Israel, Ehud Barak (kanan).
Pada 18 Oktober, AS dan Israel meluncurkan game perang gabungan tahap pertama.
Latihan militer ini digelar selama empat pekan, tumpang tindih dengan pemilu AS (6 November) dan mencapai puncak dengan dimulainya pemboman Gaza (14 November).
“Game perang gabungan AS-Israel mulai "siaran langsung" pada 14 November dengan peluncuran operasi Pillar of Cloud,” kata Chossudovsky.
Menurut Chossudovsky, bisa dimafhumi jika game perang gabungan Paman Sam-Zionis ini di-“nawaitu”-kan mengarah ke arah operasi militer yang sebenarnya. “Operasi Tiang Awan telah direncanakan jauh-jauh hari, "dibenamkan" dalam struktur game perang gabungan AS-Israel,” tegasnya.
Permainan perang gabungan berjuluk “Austere Challenge 12” ini melibatkan partisipasi aktif 3.500 personel militer AS dan 1.000 serdadu Israel.
Kontingen AS terdiri dari 1.000 prajurit yang ditempatkan di Israel—termasuk penasihat militer dan pasukan khusus—bersama-sama dengan 2.500 tentara di bawah yurisdiksi Armada AS ke-6 di Mediterania Timur dan Komando AS-Eropa (EUCOM).
Permainan (game) perang gabungan AS-Israel dikoordinasi oleh Komandan Angkatan Udara AS, Letjen Craig Franklin, dan Petinggi IDF, Brigjen Shachar Shohat.
Tujuan manuver militer ini untuk menciptakan “tekanan” di wilayah Israel dan lepas pantai Mediterania serta menguji kemampuan pertahanan udara Israel terhadap serangan Hamas dan Hizbullah, musuh dekat dan jauh.
Pelaksanaan game diawasi ketat oleh Komandan EUCOM, Laksamana James G Stavridis. Sejumlah laporan menyatakan pembentukan pos komando AS dalam operasi Israel berada di bawah yurisdiksi EUCOM.
Dalam konteks latihan perang, Hamas dan Hizbullah diidentifikasi sebagai musuh dekat dan sekutu Iran. [3]
Tentara AS dan serdadu perempuan Israel berjalan saat latihan militer bersama bertajuk "US-Israeli Austere Challenge 12"
Latihan militer bersama AS-Israel mensimulasikan kemungkinan meluasnya serangan roket ke Israel, baik dari musuh dekat maupun jauh—Hizbullah (Iran).
Stavridis mengatakan, kedua belah pihak (AS dan struktur komando Israel) telah bekerja keras untuk menciptakan kemampuan nyata selama latihan.
“Latihan ini dimaksudkan untuk mensimulasikan perang yang meluas di Timur Tengah dan membutuhkan campur tangan AS, serta memberikan Israel sistem pertahanan untuk mencegat rudal,” jelasnya sebagaimana dilansir Haaretz.
Latihan ini juga melibatkan penyebaran Patriot Pac-3 (sistem pertahanan antirudal Israel) yang ditempatkan di seluruh Israel. Kapal perang AS yang berlabuh di lepas pantai Israel tak mau kalah, turut unjuk gigi dalam latihan.
Patriot Pac-3, sistem pertahanan antirudal Israel yang siap menangkal serangan udara dari Hamas atau Hizbullah
Latihan pencegatan rudal merupakan bagian integral dari latihan militer bersama. Pasukan Israel dan AS berlatih mengidentifikasi target yang menuju Israel, dalam rangka menentukan cara apa yang harus digunakan untuk mencegatnya—dan mengaktifkan sistem pertahanan secepat mungkin—sebelum target mendarat di wilayah Israel.
Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, mengatakan latihan gabungan tersebut mencerminkan kerjasama yang mendalam dengan Amerika sebagai sarana untuk menghadapi ancaman berkelanjutan dari Hamas. Pernyataan ini ditegaskan Ehud pada 12 November, dua hari sebelum militernya menggempur Gaza.
“Ini merupakan saat yang sangat penting untuk memajukan koordinasi pertahanan rudal kita dalam menghadapi ujian di masa depan.... juga untuk tindakan yang sedang berlangsung terhadap Hamas dan organisasi teror di Gaza, yang kemungkinan akan memburuk.” kata Ehud sebagaimana dikutip Haaretz.
“Jalur Gaza merupakan tantangan signifikan... yang di pusatnya terdapat senjata, termasuk ancaman roket yang dapat mencapai wilayah kita,” tandas dia.
Di lain pihak, Hamas tak mau kalah. Akan tetap meladeni serangan Israel, hattaserangan darat sekalipun. “Terkait serangan darat, kami tidak mengundang bencana. Tapi jika tak terhindarkan, kami tidak takut,” ujar Pemimpin Politik Hamas, Khalid Misyal, dalam sebuah konferensi pers, Selasa (20/12).
Israel, kata Misyal, menggangap Gaza lemah dan kelinci percobaan. “Saya katakan, hitung kembali strategi kalian. Jika tidak, itu kubur kalian!” tegasnya. [4]
Sumber :