Sejak merebaknya serangan Tomcat di Surabaya 2 pekan lalu, informasi tentang dampak serangga ini pada manusia bersliweran lewat jejaring sosial, SMS, maupun BBM Broadcast. Ada yang menyebut racun serangga ini 12 kali lebih ganas daripada racun Ular Kobra. Benarkah?
Dr. Hari Sutrisno Kepala Laboratorium Entomologi bidang Zoology Pusat Penelitian Biologi LIPI membantahnya. Kata dia, tidak tepat jika membandingkan racun kobra yang bersifat neuro toxin (menyerang syaraf) dengan racun Tomcat yang bersifat dermatitist (menyerang kulit). Dari segi fatalitasnya pun, kata Hari, jauh lebih berbahaya racun ular Kobra karena bisa menyebabkan kematian. Racun Tomcat tidak. Paling parah, untuk jenis Tomcat dari Afrika, jika terkena di mata, bisa alami kebutaan permanen.
Tomcat dalam bahasa Zoology disebut Paederus atau Rove Beetles masuk keluarga Staphylinidae. Total di seluruh dunia ada lebih dari 600 spesies jenis serangga ini, tapi tidak banyak yang mengandung racun. Racun Tomcat dikenal sebagai paederin. Racun ini disintesa oleh bakteri pseudomonas. Bakteri ini hidup di dalam tubuh serangga, menjadi bagian dari sistem sirkulasi hemolimfa darahnya (indosimbion).
Ada dua metode pengeluaran racun oleh serangga. Yang pertama lewat alat ekskresinya. Serangga jenis ini punya alat untuk menyuntikkan racunnya pada organisme lain dan biasanya bersifat aktif menyerang. Ini seperti lebah atau kalajengking. Yang kedua, racun jadi satu bagian dalam sirkulasi darahnya. Sifatnya pasif. Biasanya racun akan berdampak jika serangga ini terluka atau mati digencet sehingga hemolimfa (darah)-nya keluar. Nah, ‘darah’ itulah yang berdampak pada kulit. Tomcat termasuk jenis yang kedua.
“Jadi, racun itu tidak akan berdampak ke manusia kalau Tomcat tidak diceples seperti kita membunuh nyamuk itu. Darahnya yang menempel di kulit yang menyebabkan dermatitist atau ruam, menimbulkan rasa sensasi terbakar dan bisa memburuk jadi infeksi jika tidak ditangani benar,” kata dia.
Lain halnya dengan racun ular kobra yang disuntikkan masuk ke dalam tubuh. Racun itu tersebar ke bagian tubuh lain lewat sirkulasi darah. Racun ini menyerang sistem syaraf manusia dan bisa menyebabkan kematian dengan cepat.
Sejauh ini, kata Hari, belum pernah ada kajian untuk membuat anti serum racun Tomcat guna penyembuhan. Ini karena penyembuhannya mudah. Jika tidak sengaja menyeples Tomcat, langsung siram dengan air mengalir dan bersihkan dengan sabun. Jika terlalu lama, bisa timbul infeksi lanjutan. Tapi ini bisa ditangani dengan anti biotika yang direferensikan dokter.
Yang cukup berbahaya adalah jika serangan terjadi pada orang yang punya riwayat alergi. “Bisa mengakibatkan gagal jantung ataupun kerusakan syaraf. Untuk korban yang punya alergi sebaiknya lekas dibawa ke dokter untuk dapat perlakuan khusus,” jelasnya.
Serangan Tomcat sebenarnya bukan hal yang baru dan pernah tercatat dalam jurnal imiah. Misalnya di Australia tahun 1990-an dan Malaysia tahun 1997. Di Indonesia pun sebenarnya serangan Tomcat terjadi hampir tiap tahun seiring dengan musim panen padi. Serangga ini memang biasa hidup di rerumputan padi, tempat lembab, dan tertarik sumber cahaya. Serangga ini adalah predator hama padi-padian, misalnya wereng dan kutu.
Ada sekitar 12 jenis Tomcat yang hidup di Indonesia dan yang paling umum hidup di Pulau Jawa adalah Paederus Fucives.
Menangani dampak racun Tomcat, jelas Hari, tidak perlu panik berlebihan karena tidak mematikan. Yang penting harus mengetahui dulu karakter dan ciri serangga ini sehingga bisa terhindar rasa sakitnya. Kalau sudah terlanjur terkena, tetap tenang dan cukup bersihkan luka.
“Ini saja sudah cukup. Kalau racunnya terkena air, dia konsentrasinya berkurang dan dampaknya buat kulit juga tidak parah. Kalau sudah terlanjur kena, berikan salep yang direkomendasi dokter dan anti biotik jika sudah infeksi. Itu saja,” pungkasnya
Sumber : m.suarasurabaya.net/
kunjungan ..
ReplyDeletesalam sukses selalu ..:)