Mungkin kita juga tahu banyak tentang Gunung Galunggung yang meletus pada tahun 1982 bahkan kalau ditulispun tidak cukup untuk dituangkan dalam kertas atau bila d tik lewat PC/Laptop bakal menyimpan file yang banyak.. begitu juga dengan cerita-cerita mistik tentang meletusnya dan inilah sekelumit cerita yang saya dapat dari Majalah Tempo yang ditulis pada tgl 21 Agustus 1982
40 cangkir kopi buat Galunggung
Daun Hanjuang dan Bambu Kuning kini menghiasi banyak rumah penduduk Tasikmalaya. Dengan pajangan itu mereka berupaya meredakan kemarahan Gunung Galunggung. Menurut cerita, bambu kuning adalah senjata yang digunakan Raja Galuh ketika mengalahkan Raja Galunggung. Sedang daun hanjuang -- bentuknya serupa dengan pandan dan berwarna hijau kemerahan -- dianggap penjelmaan kujang emas (senjata asli Pajajaran) yang ditanam Raja Galunggung.
Kedua kerajaan ini, Galuh dan Galunggung, memang dikenal dalam sejarah Pasundan. Syahdan, dalam pertempuran antara kedua raja itu -- entah kapan pula terjadinya -- Raja Galunggung terluka. Dia lari menyembunyikan diri, bertapa ke sebuah gunung terdekat. Dan dia sempat bersumpah "akan menuntut balas," demikian cerita Abu Sachrim, 56 tahun, juru-kunci sebuah pertapaan yang terletak di sebelah utara puncak Gunung Galunggung. Raja inilah yang kini disebut sebagai mBah Galunggung.
Banyak orang percaya, gunung di Tasikmalaya itu meletus karena mBah Galunggung marah, hingga perlu "ditangkis" dengan memasang bambu kuning dan daun hanjuang. Menurut Abu Sachrim, pernah tujuh orang datang bertapa di puncak Galunggung. Setelah tiga bulan, para petapa itu menemukan enam keris pusaka milik Raja Galunggung. Mereka mengambil dan membawa pergi keris itu. Kemudian terjadilah letusan pertama Galunggung, 5 April. Merasa bersalah, para pertapa itu mengembalikan keris itu ke tempat ditemukannya. Ternyata gunung itu masih murka".
Letusan Galunggung, berturut-turut selama empat bulan, membangkitkan berbagai "teori" aneh. Misalnya Aki Saftan, ahli kebatinan dari Desa Gunung Tanjung, Kecamatan Manonjaya, sempat dihubungi salah seorang pejabat Pemda Kabupaten Tasikmalaya. Menurut Aki Saftan, 50 tahun, masyarakat Tasikmalaya sudah ingkar, tidak mau bersedekah. Dia menganjurkan seekor sapi dari Kroya, Jawa Tengah harus dipotong oleh Bupati Tasikmalaya sendiri, kemudian dagingnya dan satu kuintal beras dibagi rata pada fakir miskin. "Galunggung harus diberi tepung lawung," ujar Aki Saftan dengan sungguh-sungguh. "Kalau tidak, Tasikmalaya akan menjadi sagara (danau)," tambahnya.
Pernah pula (20 Mei) sekitar seratus orang datang ke Kampung Cikadu, Kecamatan Indihiang, Daerah Bahaya II. Mereka datang dari Bandung, Bogor, Cirebon, Sukabumi dan Ciamis dengan menggunakan delapan bis mini. Tepat tengah malam, malam Jumat Kliwon, 12 ekor domba dan seekor sapi yang mereka bawa disembelih di halaman masjid desa. Sebelum acara penyembelihan diadakan semadi dan pembacaan doa. Hadir pula sekitar 300 penduduk setempat, sebagian besar pengungsi yang tinggal di bedeng darurat. Rombongan pendatang itu dipimpin oleh Aki Syamsu, yang berasal dari Banten. Ia murid aliran kebatinan Madrais, Cigugur, Kuningan. Tahun 1970-an, aliran ini dilarang pemerintah, dan Aki Syamsu dikabarkan mendirikan aliran Hikmaliyah, yang kemudian tahun 1980 juga dilarang. Lalu sebagian anggotanya mendirikan perkumpulan baru "Iktikad baik."
Seminggu setelah acara di Cikadu, seorang pendeta Budha bernama Adisurya membangun "makam mBah Galunggung" di rumahnya di Kompleks Pancasila, Tasikmalaya. Adisurya (terlahir Lai Khai Fong), 44 tahun, juga dikenal sebagai ahli tusuk jarum. Di depan rumahnya yang juga berfungsi sebagai kelenteng "Kue En She" didirikannya sebuah cungkup, berbentuk stupa, beratap sirap dengan lantai marmar putih. Ukurannya 4 x 4 meter. Di bagian tengah dibuat sebuah makam, dan di dekat "nisan" dipasang hio. Ada sepasang tempat pembakaran kertas di samping makam. Biaya pembangunan "makam": Rp 1,5 juta, berasal dari kantung Adisurya sendiri. Menurut istrinya, tatkala bersemadi pada suatu malam Adisurya mendapat wangsit agar membangun makam mBah Galunggung di depan rumahnya itu. Upacara peresmiannya (17 Juni) dihadiri sekitar 50 orang, berlangsung dari pukul 19.00 sampai 22.00. Dimulai dengan doa, disusul penanaman keris pusaka milik sang pendeta, lalu pemotongan tumpeng, upacara itu bertujuan "mengurung roh mBah Galunggung di makam itu," kata Ny. Adisurya. TAPI "makam" itu ternyata tak direstui oleh Walikota Tasikmalaya Oman Rusman. Bangunan itu kemudian diperintahkannya untuk dibongkar. Pendeta Adisurya kabarnya marah. Keris pusakanya dicabut lagi (11 Juli), begitu juga sebuah batu pusaka yang konon penolak bala. Roh mBah Galunggung, begitu kisah Ny. Adisurya, dikembalikan suaminya ke Gunung Galunggung. Dan kebetulan, dua hari kemudian Galunggung meletus lagi.
Berbagai upacara mistik itu membuat was-was para pejabat agama. Departemen Agama lantas membentuk Tim Dakwah Penanggulangan Bencana Galunggung. Tapi upaya mistik, terakhir 26 Juli, masih memikat perhatian. Tatang Permana, 40 tahun, ahli kebatinan dari Banyuwangi, Jawa Timur, hari itu naik ke kawah Gunung Jadi (anak Gunung Galunggung) dan menyerahkan sesajen berupa 40 butir telur ayam dan 40 cangkir kopi. Toh dua hari kemudian Galunggung meletus lagi, malah sampai tiga hari berturut-turut. Domba, sapi, keris, telur dan kopi rupanya terbuang percuma.
Sumber :