Tidak banyak masjid di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dari masa lalu berumur hingga ratusan tahun dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Di antara yang sedikit itu dan yang bisa disaksikan sampai sekarang adalah Masjid Agung Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Dari beberapa sumber yang ada, Masjid Agung Manonjaya dibangun pada tahun 1837 M. Namun, ada pula yang menyebutkan, masjid ini dibangun pada tahun 1832 M. Terlepas dari kedua data tersebut, yang pasti, masjid itu sudah berdiri lebih dari 170 tahun.
Masjid kebanggaan warga Tasikmalaya, Jawa Barat, ini terletak di Dusun Kaum Tengah, Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya. Selain karena usianya yang panjang, masjid ini juga memiliki ciri khas tersendiri dari segi arsitekturnya.
Tak heran, dengan usianya yang mendekati dua abad itu, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Masjid Manonjaya yang memiliki luas sekitar 1.250 meter persegi ini menjadi kawasan cagar budaya (purbakala) yang wajib dilindungi dan dilestarikan. Ketetapan pemerintah itu dikeluarkan oleh Badan Arkeologi RI yang merujuk UU Kepurbakalaan pada 1 September 1975 bersama dengan Masjid Agung Sumedang.
Keputusan ini diperkuat lagi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa Masjid Agung Manonjaya sebagai bangunan cagar budaya yang harus terus dilestarikan.
Keunikan dan ciri khas Masjid Agung Manonjaya.
Begitu memasuki gerbang luar masjid, pengunjung dapat menyaksikan sekitar 51 tiang masjid dari total 61 tiang yang ada dengan diameter antara 50-80 sentimeter (cm) yang terletak di beranda masjid.Tepat di depan beranda itu, pengunjung juga bisa menikmati keindahan dan kekokohan dua buah menara yang pada masa lalu biasa digunakan muazin untuk mengumandangkan azan ke seluruh pelosok kota. Kedua menara itu persis mengapit pintu gerbang utama yang menghadap langsung ke alun-alun Manonjaya.
Selain dua menara yang terdapat di depan gerbang, ada satu menara lagi di bagian belakang masjid. Keindahan dan keunikan struktur bangunan menara itu menyatu dengan bangunan utama masjid yang tampak sangat fenomenal karena dibangun pada masa kolonial (Belanda).
Dari segi arsitekturnya, Masjid Agung Manonjaya ini begitu kental dengan nuansa neoclassic, seperti kekhasan bangunan di Eropa. Pada beberapa bangunan tertentu, tampak sentuhan art deco yang menjadi ciri arsitektur bangunan di negeri Belanda.
Secara umum, arsitektur Masjid Agung Manonjaya ini memadukan desain Eropa dengan aristektur tradisional Sunda dan Jawa. Nuansa tradisional itu sangat terasa dengan bentuk dari elemen bangunan, seperti ruang shalat untuk wanita, serambi (pendopo) di sebelah timur, dan mustaka (memolo) yang konon merupakan peninggalan dari Syekh Abdul Muhyi, ulama asal Pamijahan, Tasikmalaya Selatan.
Beberapa unsur bangunan yang sangat khas dan melambangkan percampuran unsur tradisional dengan Eropa klasik itu adalah atap tumpang tiga, serambi (pendopo), dan struktur saka guru yang terdapat di tengah-tengah ruang shalat.
Kekhasan lainnya dari masjid ini adalah keberadaan tiang saka guru yang berjumlah 10 buah. Konstruksi tiang-tiang saka guru tampak berbeda dibandingkan konstruksi serupa yang lazim ada di bangunan masjid-masjid masa lalu dan masa kini. Bila Masjid Agung Demak menggunakan tiang saka guru yang terbuat dari kayu, sebaliknya tiang saka guru Masjid Manonjaya ini menggunakan material pasangan batu bata. ''Masing-masing tiang saka guru berbentuk persegi delapan dengan diameter 80 cm,'' ujar Didi Iskandar, ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Manonjaya.
Seperti umumnya masjid-masjid yang dibangun di masa lalu, Masjid Agung Manonjaya ini juga menggunakan bahan-bahan yang terbuat dari kayu jati, kapur, dan tanah liat. Ketiga material itu digunakan sebagai bahan struktur rangka dan campuran tembok masjid.
Kekhasan lainnya dari masjid ini adalah keberadaan mustaka (memolo) di atas atap tertinggi masjid. Keberadaan memolo ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh kebudayaan Jawa di tanah Sunda sekalipun.Menurut Didi, konsep memolo itu merupakan adaptasi dari bangunan saktal yang ada di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa Hindu.
Sementara itu, pengaruh arsitektur budaya lokal (Sunda) begitu tampak dari keberadaan atap masjid yang mengerucut. Menurut Udin Bahrudin (76), seorang penjaga masjid, bangunan atap tersebut dinamai Bale Nyungcung.
Bangunan tersebut biasanya digunakan di masjid-masjid tradisional di kawasan Priangan yang mencakup Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, dan Cianjur. Saat itu, masjid-masjid agung yang ada di kota-kota tersebut juga menggunakan bale nyungcung sebagai elemen masjid. Penamaan bale nyungcung dimulai saat pembangunan Masjid Agung Bandung di awal abad ke-19.
Kekhasan lain yang dijamin akan memanjakan pengunjung adalah elemen renik-renik (hiasan) yang ada di bangunan masjid. Langgam campuran yang ada dalam bangunan masjid merupakan bentuk perpaduan budaya antara bangsa Belanda dan orang Sunda di Manonjaya.
Didi Iskandar menambahkan, aktivitas yang biasa dilakukan di Masjid Manonjaya ini adalah shalat lima waktu. Namun, di antara waktu-waktu itu diselenggarakan juga berbagai kegiatan keagamaan (pengajian), seperti pengajian rutin setiap Subuh dan petang serta pengajian berkala (seminggu dan sebulan sekali). Namun, kata Didi, demi menjaga kelestarian bangunan masjid, pihak DKM memberlakukan larangan memasuki masjid di luar waktu kegiatan yang telah ditentukan itu.
Secara fungsional, kata dia, bangunan masjid sehari-hari mampu menampung jamaah hingga 5000 orang. ''Mereka semua datang tidak hanya dari sekitar masjid, tapi juga dari jauh,'' ucap dia. Memprihatinkan Meski Masjid Agung Manonjaya masuk dalam kategori bangunan cagar budaya, saat ini keberadaannya sangat memprihatinkan. Walau sudah dilakukan renovasi (rehab) pada periode 1974-1977 dan 1991-1992, tetap saja bangunan tersebut semakin memburuk kualitasnya.
Karena itu, kata Alfian, pihaknya ingin agar rencana rehab bisa segera dilakukan. ''Saat ini, sudah diajukan anggaran sebesar Rp 2,4 miliar. Namun, belum juga disetujui,'' ujar Alfian.
Dalam pengamatan Kami, kondisi masjid ini memang sangat membutuhkan perawatan. Beberapa elemen bangunan, terutama yang materialnya telah diganti pada renovasi tahap awal dan kedua, kini kondisinya sudah mulai lapuk. Begitu juga dengan tiang-tiang yang berada di beranda masjid, sebagian di antaranya telah bolong (berlubang) dan menganga lebar. Ditambah lagi dgn kerusakan yg ditimbulkan Gempa 2 September 2009, Kondisi ini tentu saja mengganggu pemandangan indah di masjid bersejarah ini. Mampukah bangunan Masjid Agung Manonjaya melawan kondisi zaman?
Sumber dari berbagai sumber
Info ini sdh diposting juga di FB Group TASIKMALAYA TEMPO DOELOE