Dalam beberapa pekan terakhir, jet tempur Sukhoi TNI Angkatan Udara memaksa mendarat pesawat asing yang melanggar wilayah udara Indonesia. Satu pesawat Cessna asal Singapura dipaksa turun di Bandara Supadio, Kalimantan Barat, lalu pesawat Gulfstream yang dipiloti warga negara Arab Saudi digiring ke bandara El Tari, Nusa Tenggara Timur.
Namun dua kejadian itu tak seberapa dibanding peristiwa serupa yang terjadi pada 3 Juli 2003. Kala itu dua pesawat F-16 TNI AU mencegat dua pesawat F-18 Hornet dan empat kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat di atas Pulau Bawean, Jawa Timur.
Kejadian itu dituangkan dalam buku Insiden di Atas Bawean yang berisi kumpulan tulisan dan kesaksian penerbang yang disunting oleh Marsekal Muda Wresniwiro.
Buku ini menguraikan secara lengkap dan mendetail soal pencegatan itu dan juga pembahasan aspek hukum internasional serta pertahanan dan keamanan.
Berikut ini nukilannya:
Kapten Penerbang Fajar Adriyanto belum sampai 20 menit di rumahnya sepulang operasi di Aceh ketika komandannya menelpon. Komandan Skuadron Udara 3 Iswahyudi Madiun, Letnan Kolonel Penerbang Tatang memerintahkan perwira TNI Angkatan Udara berkode “Red Wolf” itu segera kembali ke markas.
“Fajar, sekarang juga perintahkan seluruh penerbang kembali ke skuadron, ada penerbangan gelap di Laut Jawa,” kata Tatang. “Perintah Pangkohanudhas, kita terbang sekarang juga untuk intercept!”
Pada 3 Juli 2003 pagi sekitar 11.41 WIB, Pusat Operasi Sektor Pertahanan Udara Nasional II Makassar menerima informasi dari Military and Civil Coordination Center (MCC) soal adanya penerbangan gelap lima pesawat di atas Pulau Bawean. Kelima pesawat itu tak mengabari penerbangan mereka ke MCC Ngurah Rai di Bali ataupun MCC Juanda di Surabaya.
Hari itu, Fajar mengudara bersama Kapten Penebang Ian “Hyena” Fuady, Kapten Penerbang M. Tonny “Racoon” Haryono, dan Kapten Penerbang M. Satriyo “Serpent” Utomo. “Tugas kalian hanya identifikasi,” kata Tatang sebelum memimpin doa. “Jangan emosi, jangan menembak bila tidak ada perintah.”
Keempatnya terbang pada pukul lima sore dengan dua pesawat F-16 Fighting Falcon dengan amunisi rudal AIM-9P4 dan peluru 200 ea. Beberapa detik menjelang posisi pesawat gelap itu, terbaca di radar ada dua jet menuju ke arah mereka dengan kecepatan yang bukan pesawat sipil.
“Tiit tiit tiit tiit!” Radar Warning Receiver pun berbunyi penanda senjata pesawat yang datang itu telah mengunci mereka. Selama beberapa detik kedua pihak sama-sama mencoba mengacak radar lawan.
Falcon Fajar dan Ian belok mendadak buat melepaskan kuncian itu lalu melesat maju menjadi umpan agar dikejar musuh. Fajar mengatakan, saat itu mereka sempat komunikasi dengan Surabaya agar menjauhkan pesawat sipil dari wilayah dog fight itu. Ada pesawat Mandala, Bouraq, dan Garuda Indonesia yang segera menjauh.
Saat pesawat gelap itu masuk jarak pandang, Fajar melihat lawannya adalah dua F-18 Hornet. Ia dan Ian juga melihat ada fregat berlayar di bawah sehingga mereka meyakini ada jet tempur itu berasal dari kapal induk yang berada dekat.
Hornet pertama memburu Falcon-1 milik Fajar dan Ian, lalu tak lama Hornet kedua mengendus keberadaan Falcon-2. Saat kondisi memanas itu, Falcon-1 memerintahkan Falcon-2 agar “rocking the wing” sebagai tanda mereka tidak mengancam.
Ian membuka komunikasi.
“Hornet flight this is Falcon”
“Falcon, your position contact by our radar, plese stay away!”
“Hornet, our mission only identify, what is your mission?”
“We are over international waters, stay away from our warship!”
“Negative, this is Indonesian teritory!”
Keempat penerbang TNI AU panas hati mendengar Laut Jawa disebut perairan internasional. Namun, kata Fajar, mereka menahan diri karena perintahnya mereka dilarang menembak.
“Hornet Flight, you must report your mission to ATC Bali or Surabaya for Traffic Information.”
“Hornet copied, we will contact Surabaya controller.”
“Hornet fligth, your mission identified, please back to your ship and don't fly again and we will back to our base.”
Dua jet Hornet kembali ke kapal mereka. Namun karena selama percakapan itu RWR terus berbunyi, diduga ada pesawat-pesawat lain yang mengawasi adu manuver Falcon versus Hornet itu.
Setibanya di pangkalan, Fajar mengatakan, “Kami masih sedikit gemetar, seandainya tadi terjadi tembak menembak, wah... tak tahulah apa yang bakalan terjadi.” Sejarah mencatat insiden serupa pernah terjadi di Libya dan militer Amerika Serikat menembak jatuh pesawat pencegatnya.
Dalam “Insiden Bawean” yang diikuti ketegangan diplomatik antara kedua negara ini, baik Indonesia ataupun Amerika merasa benar. Bagi TNI, Angkatan Laut Amerika Serikat seharusnya patuh pada UNCLOS 1982 tentang perairan di negara kepulauan.
Sesuai kesepakatan internasional itu, Indonesia sebagai negara kepulauan memang diwajibkan memberi jalur khusus buat melintasnya kapal-kapal asing. Namun para pelintas itu harus dalam status “innocent”.
Dengan status “innocent” itu menurut Panglima TNI ketika itu, Jenderal Endriartono Sutarto, kapal nelayan yang lewat pun tidak boleh menggunakan perangkat penangkap ikannya selama melintas. Itu berarti kapal selam harus lewat dalam keadaan muncul di permukaan, apalagi kapal induk seperti USS tidaklah boleh menerbangkan jet tempurnya.
Kalaupun mau melepas pesawat tempur dengan dalih pengawalan, maka harus terbang lurus di atas konvoi kapal. Ruang udara pergerakan mereka hanya 45 kilometer di sisi kanan dan kiri kapal induk.
Masalah, Amerika Serikat tak pernah meratifikasi UNCLOS 1982, sehingga mereka tak mengenal jalur khusus kapal asing di peraian Indonesia. Bagi mereka, di luar teritorial laut yang ditarik dari garis pantai adalah perairan internasional dan mereka bebas melewatinya.
Akan halnya soal izin, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia ketika itu, Stanley Harsha, menyatakan lima jet tempur yang mengawal kapal induk USS Carl Vinson, dua fregat, dan satu kapal destroyer itu sudah minta izin masuk wilayah Indonesia. “Malam sebelum lewat, kami telah memberi tahu pemerintah Indonesia, ini operasi biasa sesuai dengan hukum internasional,” kata Harsha.
Namun dalih itu tak bisa sepenuhnya diterima. Pakar hukum internasional Priyatna Abdurrasyid yang pada saat itu menjadi staf ahli TNI Angkatan Udara menilai Amerika setidaknya melanggar dua aturan Konvensi Chicago 1944 yang digagas Amerika sendiri.
Pertama, jet tempur Amerika melintasi ruang udara Pulau Bawean yang jelas wilayah RI. Konvensi Chicago menyatakan sebuah negara berdaulat dan berkuasa penuh terhadap ruang udara di atas wilayahnya.
Kedua, manuver jet tempur Hornet itu mengganggu penerbangan sipil seperti diadukan oleh pilot pesawat maskapai Bouraq kepada MCC Soekarno-Hatta. Konvensi Chicago mengharuskan pesawat tempur Amerika itu dalam pergerakannya tidak boleh menganggu keamanan penerbangan pesawat sipil.
Pelajaran dari “Insiden Bawean” itu, kata Priyatna, Indonesia tak boleh absen apalagi abai dalam pembahasan hukum internasional yang mengatur soal wilayah udara, laut, dan militer. “Perlu diusahakan Indonesia turut secara aktif dalam penyusunannya,” kata Priyatna.
***
Selengkapnya bisa dibaca di buku:
Judul: Insiden di Atas Bawean
Editor: Wresniworo
Penerbit: AK Group Yogyakarta, 2004
Tebal: xvii + 266 halaman
Buku ini menguraikan secara lengkap dan mendetail soal pencegatan itu dan juga pembahasan aspek hukum internasional serta pertahanan dan keamanan.
Berikut ini nukilannya:
Kapten Penerbang Fajar Adriyanto belum sampai 20 menit di rumahnya sepulang operasi di Aceh ketika komandannya menelpon. Komandan Skuadron Udara 3 Iswahyudi Madiun, Letnan Kolonel Penerbang Tatang memerintahkan perwira TNI Angkatan Udara berkode “Red Wolf” itu segera kembali ke markas.
“Fajar, sekarang juga perintahkan seluruh penerbang kembali ke skuadron, ada penerbangan gelap di Laut Jawa,” kata Tatang. “Perintah Pangkohanudhas, kita terbang sekarang juga untuk intercept!”
Pada 3 Juli 2003 pagi sekitar 11.41 WIB, Pusat Operasi Sektor Pertahanan Udara Nasional II Makassar menerima informasi dari Military and Civil Coordination Center (MCC) soal adanya penerbangan gelap lima pesawat di atas Pulau Bawean. Kelima pesawat itu tak mengabari penerbangan mereka ke MCC Ngurah Rai di Bali ataupun MCC Juanda di Surabaya.
Hari itu, Fajar mengudara bersama Kapten Penebang Ian “Hyena” Fuady, Kapten Penerbang M. Tonny “Racoon” Haryono, dan Kapten Penerbang M. Satriyo “Serpent” Utomo. “Tugas kalian hanya identifikasi,” kata Tatang sebelum memimpin doa. “Jangan emosi, jangan menembak bila tidak ada perintah.”
Keempatnya terbang pada pukul lima sore dengan dua pesawat F-16 Fighting Falcon dengan amunisi rudal AIM-9P4 dan peluru 200 ea. Beberapa detik menjelang posisi pesawat gelap itu, terbaca di radar ada dua jet menuju ke arah mereka dengan kecepatan yang bukan pesawat sipil.
“Tiit tiit tiit tiit!” Radar Warning Receiver pun berbunyi penanda senjata pesawat yang datang itu telah mengunci mereka. Selama beberapa detik kedua pihak sama-sama mencoba mengacak radar lawan.
Falcon Fajar dan Ian belok mendadak buat melepaskan kuncian itu lalu melesat maju menjadi umpan agar dikejar musuh. Fajar mengatakan, saat itu mereka sempat komunikasi dengan Surabaya agar menjauhkan pesawat sipil dari wilayah dog fight itu. Ada pesawat Mandala, Bouraq, dan Garuda Indonesia yang segera menjauh.
Saat pesawat gelap itu masuk jarak pandang, Fajar melihat lawannya adalah dua F-18 Hornet. Ia dan Ian juga melihat ada fregat berlayar di bawah sehingga mereka meyakini ada jet tempur itu berasal dari kapal induk yang berada dekat.
Hornet pertama memburu Falcon-1 milik Fajar dan Ian, lalu tak lama Hornet kedua mengendus keberadaan Falcon-2. Saat kondisi memanas itu, Falcon-1 memerintahkan Falcon-2 agar “rocking the wing” sebagai tanda mereka tidak mengancam.
Ian membuka komunikasi.
“Hornet flight this is Falcon”
“Falcon, your position contact by our radar, plese stay away!”
“Hornet, our mission only identify, what is your mission?”
“We are over international waters, stay away from our warship!”
“Negative, this is Indonesian teritory!”
Keempat penerbang TNI AU panas hati mendengar Laut Jawa disebut perairan internasional. Namun, kata Fajar, mereka menahan diri karena perintahnya mereka dilarang menembak.
“Hornet Flight, you must report your mission to ATC Bali or Surabaya for Traffic Information.”
“Hornet copied, we will contact Surabaya controller.”
“Hornet fligth, your mission identified, please back to your ship and don't fly again and we will back to our base.”
Dua jet Hornet kembali ke kapal mereka. Namun karena selama percakapan itu RWR terus berbunyi, diduga ada pesawat-pesawat lain yang mengawasi adu manuver Falcon versus Hornet itu.
Setibanya di pangkalan, Fajar mengatakan, “Kami masih sedikit gemetar, seandainya tadi terjadi tembak menembak, wah... tak tahulah apa yang bakalan terjadi.” Sejarah mencatat insiden serupa pernah terjadi di Libya dan militer Amerika Serikat menembak jatuh pesawat pencegatnya.
Dalam “Insiden Bawean” yang diikuti ketegangan diplomatik antara kedua negara ini, baik Indonesia ataupun Amerika merasa benar. Bagi TNI, Angkatan Laut Amerika Serikat seharusnya patuh pada UNCLOS 1982 tentang perairan di negara kepulauan.
Sesuai kesepakatan internasional itu, Indonesia sebagai negara kepulauan memang diwajibkan memberi jalur khusus buat melintasnya kapal-kapal asing. Namun para pelintas itu harus dalam status “innocent”.
Dengan status “innocent” itu menurut Panglima TNI ketika itu, Jenderal Endriartono Sutarto, kapal nelayan yang lewat pun tidak boleh menggunakan perangkat penangkap ikannya selama melintas. Itu berarti kapal selam harus lewat dalam keadaan muncul di permukaan, apalagi kapal induk seperti USS tidaklah boleh menerbangkan jet tempurnya.
Kalaupun mau melepas pesawat tempur dengan dalih pengawalan, maka harus terbang lurus di atas konvoi kapal. Ruang udara pergerakan mereka hanya 45 kilometer di sisi kanan dan kiri kapal induk.
Masalah, Amerika Serikat tak pernah meratifikasi UNCLOS 1982, sehingga mereka tak mengenal jalur khusus kapal asing di peraian Indonesia. Bagi mereka, di luar teritorial laut yang ditarik dari garis pantai adalah perairan internasional dan mereka bebas melewatinya.
Akan halnya soal izin, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia ketika itu, Stanley Harsha, menyatakan lima jet tempur yang mengawal kapal induk USS Carl Vinson, dua fregat, dan satu kapal destroyer itu sudah minta izin masuk wilayah Indonesia. “Malam sebelum lewat, kami telah memberi tahu pemerintah Indonesia, ini operasi biasa sesuai dengan hukum internasional,” kata Harsha.
Namun dalih itu tak bisa sepenuhnya diterima. Pakar hukum internasional Priyatna Abdurrasyid yang pada saat itu menjadi staf ahli TNI Angkatan Udara menilai Amerika setidaknya melanggar dua aturan Konvensi Chicago 1944 yang digagas Amerika sendiri.
Pertama, jet tempur Amerika melintasi ruang udara Pulau Bawean yang jelas wilayah RI. Konvensi Chicago menyatakan sebuah negara berdaulat dan berkuasa penuh terhadap ruang udara di atas wilayahnya.
Kedua, manuver jet tempur Hornet itu mengganggu penerbangan sipil seperti diadukan oleh pilot pesawat maskapai Bouraq kepada MCC Soekarno-Hatta. Konvensi Chicago mengharuskan pesawat tempur Amerika itu dalam pergerakannya tidak boleh menganggu keamanan penerbangan pesawat sipil.
Pelajaran dari “Insiden Bawean” itu, kata Priyatna, Indonesia tak boleh absen apalagi abai dalam pembahasan hukum internasional yang mengatur soal wilayah udara, laut, dan militer. “Perlu diusahakan Indonesia turut secara aktif dalam penyusunannya,” kata Priyatna.
***
Selengkapnya bisa dibaca di buku:
Judul: Insiden di Atas Bawean
Editor: Wresniworo
Penerbit: AK Group Yogyakarta, 2004
Tebal: xvii + 266 halaman