Barangkali ada yang bertanya, apa mungkin mengambil salah satu pendapat di antara berbagai pendapat pro dan kontra, lalu menguatkannya agar nash-nash syara' tidak kelihatan kontroversial?
Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk menentukan sikap dan pendirian. Hadits yang paling shahih yang mengharamkan nyanyian adalah Hadits Imam Bukhari dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam yang mendengar dari Abu Malik Al-'Asya'ari bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرِ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ)
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera, arak, dan alat-alat musik..." (HR. Imam Bukhari, No. Hadits 5590).
Juga Hadits Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam kitab AT-TARIKH-UL-KABIR.dari Malik bin Abi Maryam yang meriwayatkan dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam dari Abi Malik Al-'Asy'ari dari Rasulullah s.a.w. (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمُ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمُ الْمَعَازِفُ)
"Sekelompok umatku akan minum khamr (minuman keras) dan menyebutkannya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu para pemain musik akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka."
TIDAK ADA DUA BENTUK HADITS KONTROVERSIAL.
Memperhatikan nash-nash di atas maupun nash lainnya yang mengharamkan nyanyian menyebabkan seseorang tiba kepada sebuah kesimpulan bahwa ada kontroversial antara nash-nash yang membolehkan dengan nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Karena itulah kita perlu kembali kepada suatu kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam kasus seperti ini. (Lihat Imam Asy-Syaukani, IRSYAD-UL-FUHUL ILA TAHQIQ-IL-HAQ MIN-ILM-IL-USHUL, hlm. 375; Imam Syafi'i, AR-RISALAH, hlm. 352, No. Hadits 925).
Imam Syafi'i berpendapat, tidak dapat dibenarkan ada dua Hadits shahih saling kontroversial yang salah satunya tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Hadits lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya penjelasan (dalam nash lain). Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang baru), walaupun seorang mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut."
Imam Al-Khaththabi juga mengemukakan hal serupa, (Imam Al-Khaththabi, MA'ALIM-US-SUNANI, Jilid III, hlm.80). Katanya: "Apabila ada dua Hadits dari segi zhahir lafaznya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di antara keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Hadits tersebut. Setelah itu, maka tidak boleh ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan ditempatkan pada posisinya masing-masing. Begitulah sikap para ulama terhadap banyak Hadits."
Berdasarkan keterangan di atas maka sikap yang lebih tepat adalah mengambil kedua Hadits tersebut yang kelihatannya saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Bahkan sesungguhnya antara kedua Hadits tersebut dapat dikatakan tidak berlawanan satu dengan lainnya sebab setiap Hadits telah disampaikan pada suatu peristiwa atau di tempat-tempat yang saling berbeda, walaupun obyek pembahasannya sama.
1. BAGAIMANA MENENTUKAN NYANYIAN HALAL DAN HARAM.
Hadits yang melarang nyanyian berkaitan dengan nyanyian secara umum. Sedangkan Hadits-Hadits yang membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertantu. Misalnya, hari raya, pesta pernikahan, pulang kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya.Kekhususan tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. dalam Hadits-Hadits yang membolehkan nyanyian, antara lain sikap beliau terhadap Abu Bakar yang ketika itu menegur dua wanita yang sedang bernyanyi di rumah Rasulullah s.a.w. Nabi s.a.w. berkata kepada Abu Bakar:
"Biarkanlah mereka (melanjutkan nyanyiannya), wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya." (HR. MUSLIM, Hadits no. 17; dan BUKHARI, Hadits no. 987).
Juga sabda beliau kepada 'Aisyah r.a. yang ketika itu menikahkan seorang perempuan kerabatnya, dengan kata-kata (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 119):
"Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk bernyanyi?....(HR. IBNU MAJAH, Hadits no. 1900).
Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah s.a.w. kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk memukul rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi. Rasulullah s.a.w. berkata wanita itu:
"Jika engkau sudah menetapkan nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu)." (HR. AHMAD, TIRMIDZI, IBNU HIBBAN, dan AL-BAIHAQI).
Semua Hadits tersebut di atas mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian serta membatasinya, yakni membolehkannya dalam kondisi dan keadaan tertentu. Kekhususan ini menunjukkan posisi hukumnya, yaitu makruh melakukan nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Syaratnya adalah tidak bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya haram.
Adapun Hadits yang mengharamkan nyanyian pada awal bab ini adalah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera (pada kaum lelaki), arak, dan alat-alat musik...." (HR. IMAM BUKHARI).
Dalam lafaz yang lain disebutkan tambahan (وَ الْقِيَانَ) "para penyanyi wanita". Riwayat ini tercantum dalam kitab Imam Bukhari AT-TARIKH-UL-KABIR.
Hadits tersebut dapat ditafsirkan oleh Hadits lainnya yang menjelaskan bagaimana mereka akan menghalalkan minuman khamr, alat-alat musik, dan para penyanyi, yaitu sabda Rusullah s.a.w.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 106):
(لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ)
"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi." (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dari seluruh Hadits di atas yang membolehkan dan mengharamkan nyanyian dapat diambil suatu pengertian bahwa nyanyian itu hukumnya mubah, asal sya'irnya mencantumkan hanya makna-makna yang mubah saja. Kecuali apabila disertai dengan hal-hal lain yang haram, misalnya ada khamr atau bercampurnya lelaki dan perempuan.
Dengan demikian nash Hadits tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara' yang disebutkan di dalam Hadits yang mengharamkan nyanyian. Bila ia melanggar ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara ini), maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka)."
Dengan keterangan di atas maka tidak bisa kita menyamaratakan semua nyanyian itu haram atau mubah karena dalil-dalil syara' telah membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan atau pada hari raya. Dalil-dalil tersebut mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Sedangkan yang mengharamkannya telah membatasi keharamannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:
1. NYANYIAN YANG HARAM.
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita.
2.NYANYIAN YANG MUBAH.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas. Ia tidak disertai dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, tidak disertai mabuk-mabukan, tidak ada kata-kata yang mengajak pacaran, main cinta, atau senandung asmara. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama. Kecuali bila diadakan di rumah-rumah dan semua orang yang terlibat baik maupun wanitanya adalah dari keluarga dan kerabat sendiri (muhrim bagi yang lain). Misalnya seorang ibu bernyanyi untuk anaknya di depan suaminya; seorang bibi bernyanyi di depan keponakannya; seorang perempuan bernyanyi untuk saudaranya; seorang istri bernyanyi untuk suaminya dan sebaliknya, baik itu hanya lagu semata (vokal) maupun diiringi dengan instrumen musik.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.
2. BAGAIMANA SESUNGGUHNYA HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN.
Di atas telah dijelaskan status hukum nyanyian dan menyanyikannya. Adapun hukum mendengarkan nyanyian yang mubah maupun yang haram, jawabnya wallahu a'lam!
Mendengarkan sesuatu hukumnya mubah bila orang tersebut hanya sekadar mendengarkan. Tetapi bila ia ikut duduk di tempat-tempat hiburan sambil mendengarkan suara penyanyi lelaki maupun wanita, maka mendengar dalam keadaan demikian hukumnya juga haram karena kita telah dilarang duduk bersama orang-orang yang melakukan maksiat. Ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
(فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ (إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
(فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"....maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan." (6:68).
Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan surat An-Nisa 140 menjelaskan (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid V, hlm. 418) bahwa ayat tersebut menunjukan wajibnya menjauhi orang-orang yang melakukan maksiat apabila mereka melakukan suatu kemungkaran. Oleh karena itu, setiap orang yang duduk di tempat maksiat dan tidak mengingkari (mengutuk dan mencegahnya), maka ia telah ikut serta bersama mereka dan akan memikul dusa yang sama. Itulah sebabnya seseorang harus mengingkari perbuatan maksiat itu bila mereka membicarakan atau melakukannya. Tetapi bila ia tidak mampu mencegah perbuatan mereka, maka ia harus segera meninggalkan tempat tersebut agar tidak tergolong ke dalam golongan yangdisebutkan pada ayat d atas."
Adapun mengenai surat AL-AN'AM 68, beliau berkata (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid VIII, hlm. 12-13): "Ayat ini menunjukkan apabila seseorang mengetahui atau menyaksikan orang lain sedang melakukan suatu kemungkaran, maka hendaklah ia menjauhinya sekaligus menolaknya dan tidak ingin mendatanginya lagi."
Berkata pula Ibn-ul-'Arabi: "Ini merupakan dalil bahwa hidup bersama orang-orang yang mengerjakan dosa besar hukumnya tidak boleh."
Dengan demikian, seseorang yang berada atau duduk di tempat-tempat hiburan untuk mendengarkan nyanyian berarti mereka telah mengakui kemungkaran atau membiarkannya. Inilah jenis mendengar yang diharamkan syara'
Adapun nyanyian yang boleh (mubah) beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi dan telah disebutkan di atas berbeda hukumnya. Kita boleh duduk di tempat-tempat pertunjukan (misalnya panggung-panggung terbuka) untuk mendengarkan nyanyian yang mendorong umat untuk berjihad fisabilillah, memupuk perasaan halus kaum Muslimin agar lebih bertaqwa kepada Allah s.w.t., atau membicarakan sifat-sifat orang mukmin dan nilai-nilai keislaman. Juga, nyanyian yang menggambarkan tentang keindahan alam serta nyanyian yang melunakkan hati seseorang fakir miskin dan yatim, nyanyian memuji kebaktian kepada ibu dan bapak, serta kepada keluarganya, atau juga nyanyian yang tujuannya mendidik anak-anak dan sebagainya. Dengan kata lain, nyanyian yang mubah tidak ada kaitannya dengan persoalan cinta dan asmara, kecuali nyanyian dari suami kepada istri dan sebaliknya. Ia tidak disampaikan dengan cara mengeluh yang hal tersebut membangkitkan birahi seksual.
Adapun tentang masalah sya'ir nyanyian, maka sya'ir itu harus sebatas kata-kata yang sopan santun, bukan kata-kata yang berupa romantisme atau membicarakan kisah-kisah tentang malam minggu, malam pertama, dan sejenisnya. Dalam hal ini Ibn-ul-'Arabi berkata (Lihat Imam Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1494): "Hukum mendengarkan nyanyian seorang biduanita telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang lelaki boleh saja mendengarkan nyanyian wanita budaknya. Ini disebabkan karena tidak satu bagian pun yang haram padanya, baik bagian luar maupun dalam. Dengan demikian, bagaimana mungkin ia dicegah untuk menikmati suaranya (nyanyiannya)."
3. SUARA WANITA, AURAT ATAUKAH BUKAN?
Ada yang mengatakan bahwa yang boleh didengar adalah nyanyian dari lelaki, sedangkan nyanyian wanita haram untuk didengar. Alasannya, suara wanita itu aurat (hal yang tidak boleh ditampilkan). Jawabannya wallahu a'lam.
Walaupun nyanyian yang memalukan itu haram dikerjakan bila disertai dengan perbuatan haram atau mungkar namun mendengarkannya tidaklah haram. Keharamannya itu terbatas pada mendengarkannya secara langsung dari penyanyinya di tempat maksiat, bukan karena suara penyanyi wanita itu aurat. Keharaman itu terletak pada sikap berdiam diri terhadap nyanyian yang berisi kata-kata mungkar dan si penyanyi wanita menampilkan kecantikannya dengan membuka auratnya, misalnya rambut, leher, dada, betis, paha dan bagian aurat lainnya. Inilah yang diharamkan oleh syara', bukan karena masalah mendengarkan nyanyian wanita itu.
Suara wanita bukan aurat karena jika disebut demikian, ,mengapa Rasulullah s.a.w. mengijinkan dua wanita budak bernyanyi di rumahnya? Salain itu, beliau tidak keberatan berbicara dengan kaum wanita, sebagaimana yang terjadi ketika menerima bai'at dari kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan beliau pernah mendengar nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah s.a.w. Semua keterangan tersebut dan keterangan serupa lainnya menunjukkan bahwa suara wanita bukan aurat.
Selain itu, syara' telah memberikan hak dan wewenang kepada kaum wanita untuk melakukan aktifitas jual beli, berdagang, menyampaikan ceramah atau mengajar, mengaji Al-Quran di rumah sendiri, membaca kasidah atau sya'ir, dan sebagainya. Jika suara mereka dianggap aurat atau haram maka tentu syara' akan mencegah mereka melakukan semua aktivitas tersebut. Inilah hujjah yang kuat. Hanya memang syara' telah melarang wanita menampilkan perhiasannya dihadapan kaum lelaki yang bukan muhrimnya, melenggak-lenggok, atau manja dalam berbicara, sebagaimana firman Allah s.w.t.:
(وَ لاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِى الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الْطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ) (النور: 31)
"dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita...." (24:31).
Syara' tidak melarang wanita berbicara dengan pria dengan syarat ia tidak menampilkan kecantikan atau perhiasannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, mendengar suara wanita tidaklah haram sebab bukan aurat. "Tidak ada larangan wanita berbicara dengan kaum lelaki kecuali dengan suara manja, merayu, atau keluhan yang dapat menimbulkan keinginan kaum lelaki untuk berbuat jahat, serong, dan perbuatan dosa besar lainnya terhadap wanita tersebut. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam firmanNya:
(فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَ قُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا) (الأحزاب: 32)
"...maka, janganlah kamu tunduk ketika berbicara (dengan manja, merayu, dan sebagainya). (Sebab), nanti akan timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (keinginan nafsu birahinya). Dia ucapkanlah perkataan yang baik (sopan santun)." (33:32).
Apabila wanita sudah melanggar perintah tersebut maka tidak hanya dirinya yang terlibat dalam perbuatan dosa atau haram, tapi juga setiap orang yang membiarkan hal tersebut karena mereka tidak menyeru kepada yang ma'ruf (wajib, sunnah) terhadap wanita itu, dan tidak pula mencegahnya melakukan yang mungkar (haram).
Rasulullah s.a.w.bersabda mengenai hal ini: (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 49,78; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 1140; SUNAN TIRMIDZI, Hadits No. 2173; SUNAN AN-NASAI, Jilid VIII, Hadits 111; dan SUNAN IBNU MAJAH, Hadits No. 4013):
(مَنْ رَأى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ)
"Siapa saja di antara kalian yang melihat adanya kemungkaran maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka hendaklah dengan lisannya. Kalau inipun tidak mampu dilakukannya, maka hendaklah dengan menolaknya di dalam hatinya. Tetapi itulah iman yang selemah-lemahnya." (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).
--------
Info ini didapat dari : Debu.com atau seni.musikdebu.com