Saturday, August 11, 2012

Spesies Baru Manusia Kemungkinan Ditemukan

Oleh Charles Choi, Kontributor LiveScience | LiveScience.com



Fosil-fosil baru dari awal nenek moyang manusia menunjukkan bahwa leluhur kita mungkin hidup berdampingan dengan spesies manusia lain yang kini sudah punah, kata para peneliti.

Meski manusia modern atau Homo sapiens adalah satu-satunya spesies manusia yang hidup sampai sekarang, dunia pernah menjadi tempat tinggal spesies-spesies manusia lain, salah satunya Homo floriensis.

Garis keturunan manusia, Homo, berevolusi di Afrika sekitar 2,5 juta tahun lalu bertepatan dengan bukti-bukti pertama alat batu. Dari awal sampai pertengahan abad ke-20, orang percaya bahwa anggota paling primitif dari garis keturunan manusia adalah Homo erectus, turunan langsung dari spesies kita. Hanya saja, 50 tahun lalu, para ilmuwan menemukan spesies lain yang bahkan lebih primitif di jurang Olduvai di Tanzania bernama Homo habilis. Spesies manusia ini memiliki otak yang lebih kecil dan kerangka seperti kera.

Kini ditemukan fosil-fosil yang usianya antara 1,78 juta-1,95 juta tahun dari tahun 2007 sampai 2009 di Kenya utara. Fosil-fosil ini menunjukkan bahwa spesies Homo awal ternyata bermacam-macam, dan setidaknya ada satu spesies manusia yang sudah punah hidup bersamaan dengan Homo erectus dan Homo habilis.

"Dua spesies dari genus Homo, genus kita sendiri, hidup bersama leluhur langsung manusia Homo erectus, hampir 2 juta tahun lalu," kata peneliti Meave Leakey di Turkana Basin Institute, Nairobi, Kenya, pada LiveScience.



Sebuah tengkorak beridentitas KNM-ER1470 yang ditemukan pada 1972 di Kenya menjadi pusat perdebatan soal beragam spesies Homo yang hidup 2 juta tahun lalu. Spesies ini memiliki otak yang lebih besar dan wajah yang lebih rata dari Homo habilis sehingga para peneliti menyebut spesies ini sudah punah dan bernama Homo rudolfensis.

Sayangnya, sulit membandingkan antara fosil-fosil ini karena tidak ada fosil Homo rudolfensis yang masih memiliki wajah lengkap dan rahang bawah, hal-hal detil yang harus dilihat untuk membedakan mereka dari H. habilis. Perbedaan yang ada antara H.habilis dan H.rudolfensis mungkin berasal dari variasi antar-jenis kelamin dua spesies tersebut.

Kini baru ditemukan fosil-fosil wajah dan rahang bawah dari Homo rudolfensis dengan jarak 10 km dari tempat pertama KNM-ER 1470 digali. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan bahwa ia berasal dari satu spesies khusus, berbeda dari Homo-Homo lain karena wajahnya yang unik.

"Fitur wajahnya sangat rata -- Anda bisa menarik garis lurus dari bola mata ke gigi taringnya," kata peneliti Fred Spoor di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig, Jerman kepada LiveScience. "Ini menunjukkan bahwa Afrika timur sekitar 2 juta tahun lalu sangat ramai dengan beragam spesies Homo awal," kata Spoor.

Saat itu, lingkungannya masih lebih hijau, lengkap dengan danau besar. "Ada banyak kesempatan ekologi untuk mengakomodasi lebih dari satu spesies hominid," kata Spoor.

Peneliti lain menyarankan bahwa fosil-fosil ini belum cukup untuk mendukung bukti adanya spesies manusia baru. Namun, "fosil-fosil ini memiliki profil wajah yang sangat unik -- menunjukkan sesuatu yang sangat berbeda," kata Leakey. "Saya cukup yakin bahwa yang kita lihat bukanlah variasi dari spesies yang sama."

Secara prinsip, peneliti mungkin bisa merekonstruksi apa yang dimakan spesies baru ini dengan cara melihat gigi dan rahangnya. "Gigi serinya cukup kecil jika dibandingkan dengan apa yang Anda lihat di spesies Homo awal," kata Spoor. "Di mulut belakang, gigi-giginya besar, artinya banyak pemrosesan makanan terjadi di sana...mungkin saja spesies ini memakan lebih banyak tumbuhan yang liat daripada daging."

Spesies manusia lain yang ditemukan di kawasan tersebut dan sudah punah dipercaya adalah H.habilis. Setidaknya ada dua spesies berbeda yang tinggal di situs yang sama di utara Kenya. Meski begitu, masih terbuka kemungkinan bahwa fosil tersebut bukanlah H. habilis, artinya bisa saja ada spesies manusia lain yang tinggal di sana pada waktu bersamaan, kata paleoantropologis Bernard Wood di George Washington University, Washington, D.C., yang mengulas hasil penelitian ini.

Para ilmuwan merinci penelitian mereka pada jurnal Nature edisi 9 Agustus. 


No comments:

Post a Comment