Untuk mengatasi pembajakan yang beredar di internet, muncul Rancangan
Undang-Undang Anti Pembajakan Online (SOPA) dan RUU Perlindungan
Properti Intelektual (PIPA). Adapun yang menjadi motor dari aturan SOPA
ini adalah Lamar Smith, anggota Kongres asal Texas dari Partai Republik.
Sejumlah perusahaan internet kemudian bereaksi keras terhadap aturan ini. Aksi protes dilakukan, misalnya Wikipedia yang mogok beroperasi selama satu hari, juga Google yang menutup logonya pada 18 Januari kemarin. Menurut mereka, SOPA merupakan bentuk sensor yang mengancam masa depan internet, termasuk keterbukaan arus informasi.
Tapi Lamar Smith membantah adanya bentuk sensor dalam SOPA. Kepada Wall Street Journal, Smith menyebut SOPA sudah mengakomodasi keberatan yang diajukan sejumlah perusahaan internet.
"Jelas tidak akan ada bentuk sensor dalam RUU itu dan tak ada yang mengindikasikan adanya bentuk sensor. Kami hanya ingin menghentikan aktivitas ilegal (pembajakan)," ucap Lamar kepada WSJ.
Tapi SOPA dinilai tidak efektif untuk mengatasi pembajakan. Menindak secara hukum sejumlah Internet Service Provider, situs, juga pengguna internet terhadap adanya aktivitas pembajakan di internet dinilai tidak akan menghentikan atau mengurangi secara signifikan aksi pembajakan.
Mengutip laman teknologi Mashable, saat ini pun banyak aktivitas pembajakan yang dilakukan secara offline, di luar dunia maya. Di sejumlah negara Asia, seperti Cina, Hong Kong dan Indonesia, sejumlah barang bajakan bahkan sudah diproduksi secara massal.
Ini juga dinilai bukan fenomena baru, karena industri pembajakan ini sudah berlangsung sejak beberapa dekade silam. Aturan ini pun dinilai tidak akan bisa dikurangi dengan SOPA, yang malah menjadikan perusahaan internet yang beroperasi secara legal menjadi korban.
Kemudian, mahalnya konten-konten original disebut menjadi permasalahan sendiri. Selain itu, sulitnya akses untuk menemukan konten original juga perlu dijadikan catatan.
Karena itu layanan berbayar seperti iTunes, Spotify, Hulu, dan Steam mencetak kesuksesan, sebab layanan ini memudahkan penggunanya untuk mengakses, juga membayar konten yang diinginkan. Apalagi cara yang dilakukan Amazon, dengan memadukan konten dengan perangkat seperti Kindle Fire, pelanggan lebih dimudahkan untuk mencari suatu konten secara legal.
Melihat ini, Kongres di AS pun diminta untuk mencari alternatif solusi lain. Salah satunya adalah OPEN, yang didukung oleh Google. OPEN atau Online Protection and Enforcement of Digital Trade merupakan Rancangan Undang-Undang yang pernah diajukan oleh Darrel Issa, anggota Kongres asal California dari Partai Republik.
Lalu apa beda OPEN dengan SOPA/PIPA? Bedanya pada penindakan. Mengutip blog resmi Google, SOPA/PIPA akan memungkinkan Departemen Kehakiman AS untuk meminta polisi menutup situs yang menyediakan tautan ke sejumlah situs yang dianggap memiliki konten pembajakan. Jelas ini merupakan ancaman bagi situs mesin pencari seperti Google.
Sedangkan OPEN, penindakan yang diatur bersifat lebih lunak. Dalam aturan di OPEN, Komisi Perdagangan Internasional (International Trade Commision) akan menjadi lembaga yang mengatasi sengketa hukum terkait pembajakan.
Masalah Global
Pembajakan memang masalah yang berlaku secara global, dan bukan hanya terjadi di AS semata. Karena itu dirasakan perlu ada lembaga seperti Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), yang mengatur permasalahan, termasuk jika ada sengketa hukum, terkait nama domain internet.
Masalah pembajakan memang seharusnya diatasi bukan untuk kepentingan satu industri semata. Baik itu industri hiburan yang mendukung SOPA untuk keberlangsungan hidupnya, juga untuk industri internet yang merasa SOPA membatasi kebebasan akses informasi.
Pendiri Wikipedia, Jimmy Wales, pun memahami permasalahan pembajakan. "Saya pikir pemegang copyright memang memiliki isu legitimasi, tapi ada banyak cara lain untuk mengatasi isu ini yang tidak melibatkan sensor," ucap Wales, seperti dikutip dari Reuters. (ren)
Sumber : vivanews.com
Sejumlah perusahaan internet kemudian bereaksi keras terhadap aturan ini. Aksi protes dilakukan, misalnya Wikipedia yang mogok beroperasi selama satu hari, juga Google yang menutup logonya pada 18 Januari kemarin. Menurut mereka, SOPA merupakan bentuk sensor yang mengancam masa depan internet, termasuk keterbukaan arus informasi.
Tapi Lamar Smith membantah adanya bentuk sensor dalam SOPA. Kepada Wall Street Journal, Smith menyebut SOPA sudah mengakomodasi keberatan yang diajukan sejumlah perusahaan internet.
"Jelas tidak akan ada bentuk sensor dalam RUU itu dan tak ada yang mengindikasikan adanya bentuk sensor. Kami hanya ingin menghentikan aktivitas ilegal (pembajakan)," ucap Lamar kepada WSJ.
Tapi SOPA dinilai tidak efektif untuk mengatasi pembajakan. Menindak secara hukum sejumlah Internet Service Provider, situs, juga pengguna internet terhadap adanya aktivitas pembajakan di internet dinilai tidak akan menghentikan atau mengurangi secara signifikan aksi pembajakan.
Mengutip laman teknologi Mashable, saat ini pun banyak aktivitas pembajakan yang dilakukan secara offline, di luar dunia maya. Di sejumlah negara Asia, seperti Cina, Hong Kong dan Indonesia, sejumlah barang bajakan bahkan sudah diproduksi secara massal.
Ini juga dinilai bukan fenomena baru, karena industri pembajakan ini sudah berlangsung sejak beberapa dekade silam. Aturan ini pun dinilai tidak akan bisa dikurangi dengan SOPA, yang malah menjadikan perusahaan internet yang beroperasi secara legal menjadi korban.
Kemudian, mahalnya konten-konten original disebut menjadi permasalahan sendiri. Selain itu, sulitnya akses untuk menemukan konten original juga perlu dijadikan catatan.
Karena itu layanan berbayar seperti iTunes, Spotify, Hulu, dan Steam mencetak kesuksesan, sebab layanan ini memudahkan penggunanya untuk mengakses, juga membayar konten yang diinginkan. Apalagi cara yang dilakukan Amazon, dengan memadukan konten dengan perangkat seperti Kindle Fire, pelanggan lebih dimudahkan untuk mencari suatu konten secara legal.
Melihat ini, Kongres di AS pun diminta untuk mencari alternatif solusi lain. Salah satunya adalah OPEN, yang didukung oleh Google. OPEN atau Online Protection and Enforcement of Digital Trade merupakan Rancangan Undang-Undang yang pernah diajukan oleh Darrel Issa, anggota Kongres asal California dari Partai Republik.
Lalu apa beda OPEN dengan SOPA/PIPA? Bedanya pada penindakan. Mengutip blog resmi Google, SOPA/PIPA akan memungkinkan Departemen Kehakiman AS untuk meminta polisi menutup situs yang menyediakan tautan ke sejumlah situs yang dianggap memiliki konten pembajakan. Jelas ini merupakan ancaman bagi situs mesin pencari seperti Google.
Sedangkan OPEN, penindakan yang diatur bersifat lebih lunak. Dalam aturan di OPEN, Komisi Perdagangan Internasional (International Trade Commision) akan menjadi lembaga yang mengatasi sengketa hukum terkait pembajakan.
Masalah Global
Pembajakan memang masalah yang berlaku secara global, dan bukan hanya terjadi di AS semata. Karena itu dirasakan perlu ada lembaga seperti Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN), yang mengatur permasalahan, termasuk jika ada sengketa hukum, terkait nama domain internet.
Masalah pembajakan memang seharusnya diatasi bukan untuk kepentingan satu industri semata. Baik itu industri hiburan yang mendukung SOPA untuk keberlangsungan hidupnya, juga untuk industri internet yang merasa SOPA membatasi kebebasan akses informasi.
Pendiri Wikipedia, Jimmy Wales, pun memahami permasalahan pembajakan. "Saya pikir pemegang copyright memang memiliki isu legitimasi, tapi ada banyak cara lain untuk mengatasi isu ini yang tidak melibatkan sensor," ucap Wales, seperti dikutip dari Reuters. (ren)
Sumber : vivanews.com
No comments:
Post a Comment