Friday, August 5, 2011

Tetap Terjaga di Solo, Dua Kelompok Tarawih dan Dua Imam dalam Satu Masjid

Jamaah Masjid Agung Solo saat salat tarawih.


 Di Indonesia mungkin baru terjadi di Masjid Agung, Solo, salat Tarawih dilakukan bersamaan oleh dua kelompok jamaah dengan jumlah rakaat berbeda. Ada yang 11 rakaat, ada juga yang Tarawih 23 rakaat. Tradisi itu terjaga sejak puluhan tahun lalu.

Sinar lampu di taman Masjid Agung, Solo, tampak temaram Rabu malam lalu (3/8). Meski demikian, satu per satu wajah jamaah yang mulai berdatangan terlihat jelas.

Jamaah pria kebanyakan mengenakan sarung. Jamaah perempuan "sebagian besar" sudah mengenakan mukena putih hingga separo badan. Mereka sedang bersiap-siap menjalankan salat Tarawih di masjid yang didirikan Paku Buwono IV itu.

Masjid Agung berada di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta. Lokasinya berada di utara keraton atau di barat Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta. Posisi masjid itu hanya sepelemparan batu dari kompleks Pasar Klewer yang legendaris itu.

Begitu azan berkumandang, ratusan jamaah sudah memadati pelataran masjid. Saat iqamah, para jamaah sudah rapat dan bersiap untuk salat Isya. Hingga di situ, tak ada yang berbeda dengan jamaah salat di masjid lainnya.

Setelah salat Isya, pemandangan yang unik terjadi. Ratusan jamaah yang semula terpusat di ruang utama masjid berpencar menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama "jumlahnya paling banyak" tetap berada di ruang utama. Mereka itu adalah kelompok jamaah salat Tarawih 11 rakaat. Untuk kelompok itu, jamaah pria berada di ruang utama, sedangkan jamaah perempuan menempati ruang pawestren yang letaknya di selatan ruang utama.

Kelompok kedua yang salat Tarawih 23 rakaat langsung beranjak merapat ke ruang pawestren utara. Mengingat jumlah jamaah salat Tarawih 23 rakaat hanya sekitar sepuluh persen dari jumlah jamaah salat Tarawih 11 rakaat, tempat yang digunakan untuk salat pun hanya satu ruang.

Kelompok yang 23 rakaat memulai salat Tarawih terlebih dahulu, sementara kelompok 11 rakaat masih mendengarkan ceramah. Ketika kelompok yang 23 rakaat mencapai rakaat separonya, barulah kelompok 11 rakaat memulai Tarawih. 

Meski rakaatnya banyak, kelompok 23 selesai lebih cepat. Ketika sama-sama melaksanakan Tarawih, antarkelompok itu bisa lafal ayat-ayat suci Alquran yang dibaca sang imam. Kelompok 23 bisa mendengar suara imam kelompok 11 dan sebaliknya. Sebab, dua imam yang memimpin dua kelompok itu sama-sama menggunakan pengeras suara. Yang berbeda, kelompok 23 kebagian pengeras suara berkapasitas lebih kecil.

"Kami sudah terbiasa dengan model salat Tarawih seperti ini. Sama sekali tak terganggu," kata Muhsin, seorang jamaah asal Siwal, Kecamatan Baki, Sukoharjo.

Pria 47 tahun itu mengikuti salah Tarawih 11 rakaat.  "Saya ikut jamaah Tarawih di sini sejak masih bujang dulu hingga sekarang. Meski tidak rutin setiap hari berjamaah di sini, setiap bulan puasa tiba saya menyempatkan salat Tarawih di Masjid Agung," ungkapnya.

Pilihan jumlah rakaat itu bagi Muhsin lebih pada faktor kebiasaan saja. "Sudah biasa ikut jamaah yang 11 rakaat. Jadi, ya ikutnya yang ini terus. Kalau ingin menambah menjadi 23 rakaat, biasanya saya lanjutkan sendiri di rumah," tuturnya.

Berbeda dengan jamaah lainnya, Helmi, 21, mengatakan tidak terlalu fanatik dengan pilihan jumlah rakaat salat Tarawih yang diikutinya di Masjid Agung. Saat salat Tarawih di Masjid Agung, dia terkadang mengikuti 11 rakaat. Tapi, tak jarang pula dia ikut jamaah Tarawih 23 rakaat. "Tidak tentu sih, Mas. Cuma memang untuk yang 23 rakaat itu selesainya lebih cepat karena tidak pakai ceramah dulu sebelumnya," papar pria yang tinggal di Pasar Kliwon, Solo, itu.

Sugeng, 51, seorang warga Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, mengatakan bahwa kebiasaan unik berjamaah dengan dua versi tersebut berlangsung sejak lama di Masjid Agung, Solo. "Wah, kalau masalah itu (dua versi), sejak dulu, Mas. Saya masih kecil pun sudah seperti itu. Ini sebenarnya bukan masalah perbedaan keyakinan kok, tetapi lebih pada krenteging ati (kenyamanan hati, Red) saat beribadah," ujar dia yang tinggal tak jauh dari kompleks Masjid Agung, Solo.

"Jadi, di sini itu Islamnya netral. Tidak berat sebelah dan tidak condong kepada satu golongan Islam tertentu. Yang ingin salat 11 rakaat silakan, yang mau 23 rakaat ya monggo. Semua bisa di sini, bergantung krenteging ati itu tadi," tegasnya.

Salah seorang pengurus sekaligus seorang Imam Masjid Agung, Solo, Muhtarom menjelaskan, tradisi dua salat berbeda rakaat tersebut berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Pada awalnya, saat masjid itu didirikan, hanya ada satu model salat Tarawih. Yakni, 23 rakaat. Perubahan mulai terjadi saat ada dua ulama Mambaul Islam (sebuah lembaga Keislaman Keraton Kasunanan Surakarta) memiliki pandangan berbeda tentang salat Tarawih. Mereka menganut salat Tarawih 11 rakaat.

Meski menggelar salat Tarawih 11 rakaat, dua ulama tersebut tak menghapuskan jamaah salat Tarawih 23 rakaat yang ada sebelumnya. Jamaah salat Tarawih 23 rakaat tetap menggelar ibadah di masjid itu, namun berada di ruang berbeda.

Seiring dengan berjalannya waktu dan kian bertambahnya jumlah jamaah di Masjid Agung, akhir1980-an dua salat Tarawih berbeda rakaat itu mulai dipisah di dua tempat. "Dalam perbedaan itu sejak awal hingga sekarang tidak pernah timbul gejolak di antara jamaah. Sejak awal didirikan, Masjid Agung memang diperuntukkan masyarakat yang heterogen. Sebab, lokasi berdirinya masjid ini memang dahulu merupakan salah satu pusat keramaian kota," tuturnya.
(nan//c4/kum/sumber:jpp.com).


Info ini didapat dari :
www.pelitakarawang.com/2011/08/tetap-terjaga-di-solo-dua-kelompok.html yang bersumber dari diangafaninsani.blogspot.com/2011/08/tetap-terjaga-di-solo-dua-kelompok.html

No comments:

Post a Comment