Friday, July 16, 2010

Jejak Amuk Galunggung

Senin (5/4) ini, tepat 28 tahun Gunung Galunggung meletus. Akibat letusan itu, lebih dari tiga puluh desa di kaki Galunggung hancur. Ribuan warga terpaksa harus mengungsi ke tempat yang aman selama berbulan-bulan. Setelah bencana nasional itu berlalu, bagaimana kondisi kehidupan masyarakat sekitar gunung itu? Untuk mengupas hal ini, ”PR” menurunkan tim yang terdiri atas Wawan Djuwarna, Noe Firman, Soni Farid Maulana, Ida Farida, Undang Sudrajat, Hazmirullah, Amaliya, Ag. Tri Joko Her Riadi, dan periset Sampaguita untuk menyusun laporan berseri terkait dengan Galunggung. Laporan berseri dimuat di halaman ”Laporan Khusus” mulai hari ini. Selamat menyimak. (Redaksi)



DALAM catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), kegiatan erupsi Gunung Galunggung berlangsung selama sembilan bulan, mulai 5 April 1982 hingga 8 Januari 1983. Periode erupsi terbagi dalam tiga fase. Fase pertama, 5 April-6 Mei 1982, berupa erupsi tipe Pellean yang menghancurkan empat puluh persen kubah lava ”gunung jadi” (gunung baru yang keluar dari lubang erupsi), serta menghasilkan awan panas, hujan batu, abu, dan gas.

Awan panas meluncur dan mengendap di Banjaran sejauh 5,1 kilometer serta di Cikunir dan Cipanas sejauh 4,6 kilometer. Tinggi abu erupsi mencapai 12 kilometer dari kawah. Erupsi utama dalam fase pertama terjadi pada 17-19 Mei. Tinggi asap erupsi mencapai 30 kilometer dan sisa kubah lava tinggal lima persen.

Fase kedua, berupa erupsi tegak tipe vulkano yang menghancurkan seluruh sisa gunung jadi serta menghasilkan lontaran batu dan hujan pasir. Tinggi asap letusan pada 13-19 Juli mencapai 35 kilometer. Tercatat, erupsi pada 24 Juni memaksa pesawat Boeing 747 British Airways yang tengah terbang dari Australia menuju Singapura terpaksa mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusumah, setelah salah satu dari keempat mesin jetnya mati. ”Abu vulkanik mengandung silika yang tinggi. Ini bisa mematikan mesin jet,” kata Surono, Kepala PVMBG kepada ”PR”.

Fase ketiga, berupa erupsi strombolian yang melontarkan batu pijar seperti kembang api. Daya rusak erupsi ini kecil dengan tinggi asap erupsi maksimal mencapai 12 kilometer saja. Sejak Januari 1983, Galunggung sudah tidak memperlihatkan aktivitasnya lagi.

Dalam sejarahnya, Galunggung diketahui meletus paling tidak empat kali. Pada 8 Oktober 1822, letusan terjadi dalam satu hari antara pukul 13.00-17.00 WIB. Meski hanya berlangsung beberapa jam, letusan ini menelan korban 4.011 orang tewas dan menghancurkan 114 desa.

Erupsi kedua, terjadi dalam tiga belas hari, pada 7-19 Oktober 1894. Tidak ada catatan apakah ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Dilaporkan lima puluh desa hancur dan sebagian rumah warga ambruk karena tertimpa hujan abu.

Pada 1918, selama empat hari, dari 16 Juli hingga 19 Juli, Galunggung kembali meletus, tetapi tak ada catatan korban jiwa dalam peristiwa itu.

Letusan keempat, atau yang terakhir, pada 1982-1983, memaksa tak kurang dari 72.000 orang mengungsi. Selama periode letusan, delapan belas orang dilaporkan meninggal, sebagian besar karena penyebab tidak langsung, seperti kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan, dan kekurangan pangan.

Tidak ada laporan korban jiwa yang langsung diakibatkan letusan. Sebanyak 22 desa ditinggal tanpa penghuni dan total kerugian diperkirakan mencapai Rp 1 miliar.

Selain empat letusan ini, Galunggung purba pernah meletus sekitar 4.200 tahun lalu. Bukti letusan raksasa itu masih bisa ditemukan hingga sekarang, berupa sebaran 3.600 bukit setinggi 5-50 meter di Tasikmalaya, hasil endapan longsoran. Kawasan yang berjarak 10-15 kilometer dari Galunggung itu terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai ten thousands hills (sepuluh ribu bukit).

Menyimak sejarahnya, periode letusan Galunggung termasuk panjang, antara 24 sampai 72 tahun. Menurut Surono, hal ini mempertinggi tingkat risiko korban bencana. Pasalnya, daya rusak pasti akan jauh lebih besar daripada gunung berapi aktif yang kerap meletus dengan periode lima tahunan atau sepuluh tahunan. Risiko menjadi lebih besar lagi karena periode panjang itu membuat permukiman di seputar gunung semakin padat. Orang mendekat ke gunung karena menganggap tak ada masalah. “Orang sering lupa tentang bahaya letusan. Mitigasi dan evakuasi terabaikan,” katanya.


Karena kerap lupa itulah, sosialisasi mitigasi dan evakuasi mesti dilakukan secara kontinu agar kesadaran tinggal di daerah berbahaya tetap ada. Selain itu, menghidupkan lagi kearifan lokal setempat dalam menghadapi gunung tersebut juga amat penting.

“Ada masyarakat yang telah tinggal di dekat gunung secara turun-temurun selama ratusan tahun. Mereka sudah mengalami beberapa kali letusan. Ketika itu belum ada teknologi yang bisa memberikan peringatan dini. Pasti ada kearifan-kearifan lokal yang membuat mereka bisa bertahan sampai sekarang,” ujar Surono.

Sementara itu, Ucu Insan Kamil, Petugas Pengamatan Gunung Api Galunggung mengatakan, status Galunggung berada di level I atau aman, karena statusnya aktif normal. Biasanya, jika ada peningkatan status, langsung dilaporkan ke PVMBG untuk dianalisis, lalu diumumkan peningkatan status tersebut.

“Sampai sekarang Galunggung masih aman. Kami selama 1 x 24 jam terus memantau perkembangan Galunggung setiap hari. Karena aman, kegiatan wisata juga masih bisa dilaksanakan,” ujarnya kepada ”PR”, Minggu (4/4).

Menurut Ucu, kalau ada peningkatan status yang membahayakan, PVMBG memiliki prosedur baku, kapan daerah bahaya Galunggung harus dikosongkan atau warga sekitar mengungsi. Atau kapan Galunggung ditutup untuk kunjungan wisata.

Masyarakat di sekitar Galunggung, Senin (5/4) ini akan melangsungkan doa bersama di kawasan wisata Galunggung. Doa bersama itu, kata Alfian, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Tasikmalaya, sebagai bagian dari rangkaian kegiatan untuk mengenang meletusnya Galunggung.


“Tujuan doa bersama ini, agar kawasan Galunggung tetap aman dan tenang. Selain itu, untuk mengawali rangkaian kegiatan pemanfaatan dan promosi potensi Galunggung. Ada pameran foto saat Galunggung meletus, ada jalan sehat, sepeda ontel, dan lainnya,” kata Alfian yang juga Ketua Panitia Doa Bersama Galunggung.

Saat ini, kata Alfian, status Galunggung aman. Rangkaian kegiatan doa bersama dan kegiatan lainnya itu dilaksanakan untuk menepis isu Galunggung akan meletus.

Pemkab Tasikmalaya juga akan bekerja sama dengan PVMBG untuk menjelaskan kepada masyarakat soal status gunung itu, serta langkah-langkah yang ditempuh pemerintah jika ada peningkatan status membahayakan atau lainnya. “Nanti hal terkait dengan kemungkinan bencana akan dijelaskan Badan Penanggulangan Bencana,” kata Alfian.


Warga Sukaratu, Kab. Tasikmalaya, Caman mengatakan, kekhawatiran Galunggung meletus selalu ada. Namun, warga selalu menunggu penjelasan resmi dari pemerintah terkait status gunung itu. “Beberapa waktu lalu, setelah terjadi gempa Tasikmalaya, ada isu Galunggung meletus. Pemerintah telah bertindak cepat dengan memberikan penjelasan bahwa gunung itu aman. Akan tetapi, ada juga warga yang sudah siap-siap mengungsi,” katanya.

Caman tetap berharap pemerintah selalu memberikan informasi yang cepat jika ada hal membahayakan terkait status gunung itu. Kecepatan dan akurasi informasi sangat dibutuhkan agar warga tetap tenang serta mampu mengambil langkah-langkah tepat dalam mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.***

----------------------------

Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
(Mon, 5 Apr 2010 @08:29)
dan
http://st295011.sitekno.com/article/30220/jejak-amuk-galunggung.html

No comments:

Post a Comment