Friday, July 16, 2010

29 Tahun Lalu Galunggung Meletus

TANGGAL 5 April 1982, pukul 5.00 WIB adalah saat-saat tak terlupakan bagi Ny. Eem (48) warga Jln. Cagak, Desa Linggajati, Kecamatan Sukaratu, Kab. Tasikmalaya. Kumandang azan Subuh baru saja berlalu ketika suara menggelegar yang amat dahsyat mengguncang pagi yang senyap di kampung itu. Awan pekat berbaur dengan api menyembur dari kawah Galunggung. Pasir dan kerikil pun berjatuhan dari angkasa.



Gunung yang berada di Tasikmalaya itu akhirnya meletus dahsyat setelah sebelumnya mengeluarkan pertanda berupa gempa bumi berkali-kali. ”Bumi sepertinya mau kiamat. Saya ketakutan setengah mati sambil menuntun dua anak saya yang masih balita, saya berlari menjauh dari bencana. Tak ada barang berharga yang bisa dibawa, hanya gembolan pakaian yang bisa diselamatkan, itu pun karena sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya,” kata Eem mengenang.

Ribuan penduduk di kaki gunung itu berlari menjauhi gunung yang sedang mengamuk. Tak ada bantuan kendaraan dari pihak berwenang. Warga hanya bisa berlari sekuatnya. Baru pukul 17.00 bantuan kendaraan dari pemerintah datang membawa warga semakin jauh dari pusat bencana.

”Bumi yang kami pijak terus bergetar, walaupun kami sudah berada pada jarak yang cukup jauh. Sungguh mengerikan,” tutur Eem.

Sebelumnya, warga desa sudah menyadari ada yang tidak biasa dari gunung itu. Diawali gempa bumi yang terjadi berkali-kali, dengan kekuatan cukup besar. ”Kolam ikan di desa kami seperti keplok (tumpah),” kata Eem lagi.

Hal aneh lainnya, beberapa minggu sebelum letusan terjadi, binatang-binatang penghuni hutan di puncak gunung beramai-ramai turun gunung. Namun, penduduk masih belum menyadari apa yang akan terjadi hingga seminggu sebelum letusan beberapa pemburu mencek memberikan informasi bahwa kawah Galunggung terlihat mendidih dan di dalamnya muncul api.

”Dari situ kami mulai berjaga-jaga. Petugas desa memberi petunjuk supaya kami menyiapkan barang-barang yang mudah dibawa agar bisa segera mengungsi,” tuturnya pula.

Pengalaman lebih dramatis dialami Endang Abdul Malik (41), juragan pasir dari Sinagar. Endang yang saat itu baru berusia tiga belas tahun ingat betul bagaimana hebatnya letusan pertama Galunggung. Rumahnya di Kp. Singemplong, Desa Sinagar, Kec. Sukaratu, Kab. Tasikmalaya, hanya berjarak kurang lebih lima kilometer dari kepundan Galunggung. Dengan jarak sedekat itu, bahaya letusan ada di depan mata. Namun, ketika letusan pertama terjadi, warga desa yang terdekat dengan kawah itu bukannya berlari menjauhi kawah. Mereka malah naik ke dekat kawah, menuju tugu (pilar) peninggalan zaman perjuangan dulu.

Sehari mengungsi di pilar, Endang sempat turun untuk melihat rumahnya. Ternyata, sebagian rumahnya sudah terbakar oleh awan panas. Harta bendanya pun turut musnah, termasuk hewan peliharaannya. Karena letusan tak juga reda, mereka pun harus mengungsi ke tempat lain.

”Aya wangsit ti karuhun. Mun gunung bitu, ulah waka ngungsi, naek we ka pilar. Tungguan sapeuting. Mun lanjut, geser ka Babakan Kiara. Tungguan tilu poe. Mun teu eureun, karek ngungsi ka Cisayong. Mun teu eureun-eureun, terus we nepi ka tilu taun cicing di Cisayong,” ujarnya.


Dampak letusan Galunggung juga terasa di Garut, Cianjur, Bandung, dan kota lainnya di Jawa Barat dalam radius 100 km. Debu tebal menyelimuti kota-kota itu selama empat bulan. Di Kota Bandung, warga panik ketika sinar matahari meredup. Cahayanya nyaris hilang terhalang debu-debu halus. ”Saat itu, pukul dua belas siang seperti magrib karena debu yang pekat dan berbau belerang. Meski suasana mencekam, saya tetap harus berangkat ke sekolah. Di jalan, semua orang mengenakan masker dan menutup kepalanya dengan topi atau kantong keresek. Lucunya, ketika kantong keresek dibuka, bagian wajah yang tidak tertutup terlihat mehong,” kata Indra (44), warga Bandung yang saat itu masih duduk di kelas I SMA.

Debu Galunggung juga nyaris membuat celaka pesawat Jumbo Jet Beoing 747 British Airways dari Sidney menuju London yang sedang melintas di selatan Jabar. Di ketinggian jelajah 11.000 meter, keempat mesinnya mati karena mengisap debu Galunggung. Untunglah pesawat selamat setelah mendarat darurat di Bandara Soekarno-Hatta.

Gunung Galunggung meletus selama sembilan bulan, memuntahkan 20 juta meter kubik lahar. Sekitar 100.000 hektare lahan di sekitar Galunggung rata dengan tanah, tertimpa batu, lahar, dan debu. Kerugian material pada saat itu ditaksir mencapai Rp 20 miliar.

Lahar Galunggung diyakini telah merusak perikanan gurame galunggung yang terkenal unggul dari daerah itu. Kini, untuk mencari gurame asal Galunggung bukanlah perkara yang mudah karena kesulitan mendapatkan indukan gurame.

Letusan ini juga mengubah profil gunung. Puncak gunung runtuh dan hanyut terbawa lahar dingin ke daerah sekitarnya sehingga terbentuk perbukitan kecil yang kelak dimanfaatkan untuk penambangan batu dan pasir.

**

Walaupun hidup di atas magma gunung berapi, penduduk di kaki Gunung Galunggung tak ingin meninggalkan daerah yang subur itu. ”Alam tak akan mencelakakan kalau manusia pandai membaca tanda-tanda yang diberikan alam. Kami tahu ada yang tidak beres ketika binatang-binatang yang menghuni puncak gunung gelisah dan beramai-ramai turun gunung,” kata Agus Gunawan (49), warga Kampung Citamperas, Desa Tawang Banteng, Kec Sukaratu.

Dengan melihat fenomena itu, penduduk mulai waspada dan siap-siap menyelamatkan diri. Terbukti, kata Agus, tidak ada seorang warga pun yang menjadi korban Galunggung. Korban meninggal bukanlah akibat letusan langsung, melainkan karena sebab lain seperti sakit atau kecelakaan lalu lintas.

Agus yakin, tinggal di Galunggung tidaklah menakutkan seperti yang diperkirakan banyak orang. Warga di sana merasakan berkah yang tiada habisnya dari gunung itu, bahkan setahun setelah gunung itu meletus.

”Kami memang masih sulit bertani karena lahan pertanian tertimbun pasir. Tetapi kami justru bisa hidup dari pasir-pasir yang disemburkan gunung di lahan kami. Hampir setiap hari, mobil bak terbuka mengangkut pasir dari kebun-kebun di desa kami dan memberikan penghasilan yang lumayan,” kata Agus.

Kini, 28 tahun setelah letusan dahsyat itu, warga sudah membangun kembali desanya. Sisa-sisa letusan masih terlihat dari batu-batuan gosong di sungai dan timbunan pasir yang sedang dieksplorasi.

Bisa dikatakan, Galunggung kini sedang tertidur lelap. Namun, pengawasan dan penjagaan terhadap gunung berapi itu kini terus dilakukan pihak berwenang. Air danau yang terbentuk di kawah Galunggung misalnya, terus dijaga agar tidak melebihi volume satu juta meter kubik, dengan mengalirkan kelebihan air melalui terowongan pelimpah menembus gunung. Saluran sepanjang 450 meter itu mengalirkan air ke Sungai Cibanjaran dan Cikunir di timur Kaldera. Mamat (48), pegawai Balai Pengelolaan Sumber Daya Air secara khusus ditugasi memantau terowongan yang diresmikan 25 September 1999 itu agar alirannya tidak terganggu pohon yang tumbang.

Jika mengamati periodisasi letusannya dari mulai tahun 1822, tahun 1894, tahun 1918, dan terakhir tahun 1982, menampakkan periode ulang dalam kurun waktu 70 tahun dan 20 tahun. Masyarakat dan pemerintah seyogianya tetap siaga karena saat ini masih ada dalam periodisasi dua puluh tahunan. Artinya, masih memungkinkan dalam tahun-tahun mendatang, Galunggung terbangun dari tidur panjangnya. Tentu, siapa pun berharap hal itu tidak terjadi dan Galunggung tetap tenang seperti sekarang. (Tim ”PR”)

***

Sumber :
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

(Mon, 5 Apr 2010 @09:12)
dan
http://st295011.sitekno.com/dua-puluh-delapan-tahun-lalu-galunggung-meletus.html

No comments:

Post a Comment