Tuesday, May 1, 2012

Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina

Pada 64 tahun silam, tepatnya 14 Mei 1948, Israel resmi berdiri di tanah Palestina. Bagi mereka, inilah kemenangan. Bagi Palestina ini adalah bencana besar atau an-Nakba- yang mengiris hati. Sedang umat Islam harus menyaksikan kaum Zionis menggerogoti selangkah demi selangkah tanah suci tempat Rasullullah SAW ber-miraj ke langit.

 
Dalam jurnal akademis yang beredar di Amerika Serikat dan Inggris, Historian, Ritchie Ovendale (2002) pernah memaparkan asal-muasal konflik antara Arab dan Israel. Mantan Profesor Politik Internasional di University of Wales, Aberystwyth, di Inggris ini menyebutkan sikap anti-Semit –menurutnya, istilah ini muncul 1860-- di kawasan Eropa menjadi cikal-bakal pergerakan kaum Yahudi. Di Rusia, sikap anti-Semit ini disebut pogroms.

Periode Dreyfus menandai imigrasi kaum Yahudi Eropa yang kemudian menetap di Kanada, Inggris, Australia, dan Afrika Selatan. Sebagian lagi berimigrasi ke wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah, yang disebut Palestina. Namun jumlah terbesar mendarat di Amerika Serikat (AS). Hingga kini, AS dikenal memiliki komunitas Yahudi terbesar di luar Israel. Itu sebabnya, merangkul Yahudi adalah tugas penting bagi siapa saja yang ingin meraih kekuasaan di AS.

Argentina atau Palestina?

Ide mengenai “tanah air” (homeland –red) bagi kaum Yahudi menggelinding pertama kali dari tangan Leon Pinsker pada 1882, lewat buku Auto-Emancipation. Menurutnya, kaum Yahudi harus memiliki “tanah air” sendiri.

Kata Zionis pertama kali mungkin digunakan Nathan Birnbaum dalam artikel pada 1886. Maknanya, kurang lebih dipahami mereka sebagai “pendirian kembali” tanah air Yahudi di Palestina atau yang digagas Birnbaum sebagai Eretz-Israel.

Secara politis, Zionisme diadopsi Theodore Herzl. Tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi -Red) terbit pertama kali di Wina, Austria, pada 1896. Ia semakin mengristalkan ide pendirian tanah air bagi kaum Yahudi. Hingga saat itu, istilah tanah air masih digunakan, dan belum menyebut istilah “negara”. Di manakah lokasi tanah air itu? Herzl memiliki dua pilihan tempat: Argentina atau Palestina.

Mengapa Argentina? Alasannya cukup sederhana, karena menurut Herzl, ''kondisi alamnya sebagai salah satu negara terkaya di dunia, wilayahnya yang luas, populasi yang sedikit dan cuaca yang sedang.''

Namun pilihan akhirnya jatuh kepada Palestina. Pilihan ini bersandar pada Kitab Perjanjian Lama. Di dalamnya, wilayah Palestina –yang jatuh ke tangan Romawi kemudian berakhir di kekhalifahan Utsmaniyyah-- disebut sebagai the Promised Land atau tanah yang dijanjikan.

Sekadar gambaran, tidak semua kelompok Yahudi menyakini Israel sebagai manifestasi dari the Promised Land. Kelompok Yahudi Ortodoks di AS misalnya, mereka justru menentang Israel. Mereka percaya, the Promised Land tidak diraih dengan cara perebutan dan penjajahan seperti yang dilakukan kaum Zionis. [1]

Lahirnya Lagu Hatiqfa 

Kongres Zionis pertama di Basel pada 1897 diikuti manuver taktis dari Max Nordau, mengubah istilah tanah air ini menjadi heimmstatte, yang diadopsi sebagai sinonim dari "negara". Sepulang dari Basel inilah perkembangan pun pesat. Muncullah World Zionist Organisation, bendera negara, Hatiqfa sebagai lagu kebangsaan, dan Jewish National Fund.

Herzl meninggal pada 1904. Ia pun menjadi mitos yang diagung-agungkan para pendukung Zionisme. Rupanya pada akhir konferensi di Basel, ia mencatat dalam diarinya, bahwa di Basel ia berhasil mendirikan negara Yahudi. Setengah abad kemudian, orang menyadari ambisinya menjadi kenyataan.

Penerus Herzl, Chaim Weizzman, tinggal di Manchester, Inggris. Pada 1906 ia melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk Arthur John Balfour. Meski berstatus mantan perdana menteri, namun Balfour masih berada dalam lingkaran kekuasaan Inggris. Sementara populasi Yahudi di Palestina masih belum mencapai 10 persen dibanding bangsa Arab.

Pada 2 November 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu menjadi menteri luar negeri, memberikan surat simpati kepada tujuan Zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan,

"His Majesty's Government views with favour the establishment in Palestine of a national home for Jewish People, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non Jewish communitie in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country." 

Terjemahan surat itu kurang lebih berbunyi, "Pemerintahan Yang Mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi dan akan mengerahkan daya upaya untuk mendukung tercapainya tujuan ini, juga jelas dipahami bahwa tidak boleh ada tindakan yang dapat menimbulkan prasangka mengenai hak sipil dan religius bagi masyarakat non-Yahudi yang berada di Palestina atau pun hak dan status politik yang sudah dimiliki kaum Yahudi di negara lain." [2]

Bagaimana kelanjutan Deklarasi Balfour?

Manuver Balfour

Masih ingat Deklarasi Balfour, bukan? Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berdalih bahwa dukungan ini akan membantu propaganda di Rusia dan Amerika Serikat, agar kedua negara itu mendukung Inggris untuk memenangkan Perang Dunia I.

Secara politis, Balfour berharap mendulang simpati sehingga populasi Yahudi di kedua negara itu mendesak pemerintah mereka untuk mendukung Inggris. Ramalan ini cukup jitu, terutama lobi kaum Zionis di Amerika Serikat amat kuat.

Namun pada 1919, dukungan pada Zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung Zionisme menyadari bahwa tujuan Zionisme adalah mendirikan negara di atas Palestina. Sebutan national home dalam deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi state atau negara. Imigrasi kaum Yahudi ke tanah Palestina pun terus dimobilisasi.

Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina (1)
Palestina di bawah Mandat Inggris 1920-1948 (peta)

Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina dan Negara Arab sekitarnya, Inggris memutuskan untuk mulai menjauh dari Zionisme. Mereka juga melihat, bahwa lahan yang tersedia tak lagi mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai, mereka telah memenuhi janji pada Deklarasi Balfour.

Naiknya Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas pasukan Inggris.

Teroris yang jadi Perdana Menteri

Kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir ulang mengenai Zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan “buku putih” yang menyebutkan bahwa kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai negara bagi kaum Yahudi.

Langkah ini mengundang reaksi baru dari kaum Zionis. Aksi lewat jalan teror pun dilakukan. Mengutip tulisan Ritchie Ovendale (2002) dalam jurnal akademis yang beredar di Amerika Serikat dan Inggris, Historian, disebutkan bahwa Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan “melancarkan kampanye teror terhadap populasi Arab”. Hmm... jadi siapakah yang disebut teroris ya?

Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin –kelak ia mendapat posisi terhormat sebagai perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan pula kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris pun makin terdesak karena dukungannya pada Zionisme menjadi bumerang. Sementara lobi Zionis terhadap pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya electoral punishment yang mengancam akan menarik dukungan mereka pada pemilu.

Kemenangan kaum Zionis memang telah di atas angin. Hal ini, tulis Ovendale, didukung oleh mesin propaganda serta akses pada media yang mudah bagi mereka. Bandingkan dengan bangsa Arab yang tak memiliki jalur informasi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati.

Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina pun terbagi menjadi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan status Yerusalem di bawah pengawasan internasional.

Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina (3)
Pembagian Palestina, wilayah Yahudi, dan Yerusalem sebagai wilayah Internasional (peta)

Partition Plan mendorong kaum Zionis mendeklarasikan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948. Hanya butuh waktu 12 menit sejak Israel dideklarasikan, Presiden AS saat itu, Harry S Truman, langsung menghubungi Israel dan menyatakan pengakuan atas berdirinya negara tersebut.

Namun bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka, sehingga mereka menolak Resolusi nomor 181. Hingga kini, terlepas dari pengakuan politik dari negara lain, kedudukan Palestina dan Israel tetap tak setara, mengingat secara hukum, status Palestina hingga kini bukan sebuah negara.
Sementara hingga 1949, angka resmi pengungsi Palestina yang terusir dari negerinya nyaris mencapai 1 juta jiwa. Mereka tertahan di negeri sekitarnya setelah lahan yang mereka tinggali selama ini berada di tangan Israel. [3]

Bagaimana aksi Israel selanjutnya? Holocaust ternyata menjadi komoditas yang laris "dijual" oleh Israel. Negara yang ternasuk di jajaran pemilik militer terkuat di dunia ini berhasil memotret diri sebagai "korban".

Menjual Holocaust yang laris manis

Sejauh ini Holocaust menjadi senjata kampanye yang ampuh bagi kaum Zionis. Peran media informasi tampaknya menjadi tulang punggung keberhasilan ini. Seperti diakui oleh Edward W Said dalam bukunya, the Question of Palestine, yang menyoroti siaran televisi NBC pada musim semi 1978.

Menurut cendikiwan Amerika berdarah Palestina ini, penonton tentu menyadari bahwa ''Sekurangnya sebagian dari program tersebut ditujukan sebagai justifikasi dari Zionisme –meski pun pada saat yang nyaris bersamaan, pasukan Israel di Lebanon melakukan penghancuran, dengan ribuan korban nyawa warga sipil, dan penderitaan yang tak terucapkan namun segelintir wartawan yang berani menggambarkan aksi tersebut mirip penghancuran yang dilakukan AS di Vietnam.''

Salah satu wartawan yang disebut Said misalnya, HDS Greenway. Sang wartawan menuliskan dalam harian Washington Post pada 25 Maret 1978, berjudul Vietnam-style Raids Gut South Lebanon: Israel Leaves A Path of Destruction.

Mengaburkan anti-Semit dan anti-Zionis

Tulisan menarik dapat dibaca lewat olahan Norman G Finkelstein, dalam buku The Holocaust Industry. Latar belakang Finkelstein cukup unik, karena kedua orang tuanya lolos dari Ghetto Warsawa dan kamp konsentrasi Nazi. Ya, ia memang seorang Yahudi.

Menurutnya, Holocaust terbukti sebagai senjata ideologi yang vital. Menyoroti Israel, Finkelstein menulis, "Lewat pengerahannya, salah satu negara dengan kekuatan militer yang mengagumkan, dengan catatan hak asasi manusia yang mengerikan, telah memotret diri sebagai negara 'korban', dan sebagai kelompok etnis yang paling berhasil di AS ini juga berhasil menyandang status sebagai korban."

Sebagai ''industri'', Finkelstein menguraikan aksi pengumpulan dana untuk ''membantu para korban yang lolos dari Holocaust''. Namun, ia pun mempertanyakan ke mana dana itu berujung.

Di sisi lain, museum Holocaust pun tersebar di berbagai negara dan jumlahnya mencapai puluhan. Di AS sendiri, sekurangnya ada 23 museum. Di Washington DC misalnya, terdapat United States Holocaust Memorial Museum. Selain menyajikan film, museum ini memamerkan berbagai macam barang, seperti tumpukan sepatu-sepatu tua, gerbong kereta, hingga ratusan artefak lainnya. Keterangan tertulis menyebutkan barang-barang tersebut peninggalan para korban Holocaust.

Salah satu gagasan yang diangkat adalah istilah anti-Semit dan anti-Zionis nyaris selalu dicampur adukkan. Lagi-lagi Said menuliskan, ''Para penganut paham liberal atau radikal sekali pun tak mampu membendung kebiasaan kaum Zionis yang ''menyamakan'' anti-Semit dan anti-Zionis''. Rupanya, banyak juga yang terjerumus ke dalam jebakan kaum Zionis.

Di tengah Yahudi sendiri terdapat suara minoritas yang menentang Zionisme, terutama di kalangan ilmuwan. Sementara di kalangan akar rumput Israel, muncul kelompok seperti Matzpen. Kelompok berhaluan sosialis ini mengklaim diri sebagai anti-Israel.

Sikap anti-Zionis dan anti-Israel bahkan juga dipegang oleh sebagian kaum Yahudi Ortodoks. Di AS misalnya, Anda mungkin pernah melihat mereka berdemo mengkritisi Israel ketika Global Movement to Jerusalem (GMJ) diluncurkan baru-baru ini.

Kini, laut Mediterania seakan menjadi saksi bahwa darah dan air mata seakan berlomba tertumpah di tanah Palestina. [4]

Menurut Anda, apakah 1 Mei 1948 sebagai an-Nakhbah, ataukah hari kemenangan yang menandai berdirinya Israel? Sejarah telah bertutur. Inilah akhir rangkaian tulisan Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina.
 



Zionis Galau: Pilih Argentina atau Palestina (4)
Wilayah Palestina kian menciut dan terus menciut.
Yerusalem timur yang diharapkan menjadi ibu kota Palestina,
kini kian dikepung dengan permukiman Yahudi. (peta)

Referensi: [1] republika.co.id/zionis-galau-pilih-argentina-atau-palestina-1
[2] republika.co.id/zionis-galau-pilih-argentina-atau-palestina-2
[3] republika.co.id/zionis-galau-pilih-argentina-atau-palestina-3
[4] republika.co.id/zionis-galau-pilih-argentina-atau-palestina-4


No comments:

Post a Comment