Dalam sejarah kemerdekaan kita, banyak sekali sosok pejuang yang berasal dari kalangan ulama. Termasuk kalangan pesantren. Salah satunya adalah KH. Z. Mustofa, ulama pejuang dari Sukamanah, Tasikmalaya, yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 20 November 1972.
Tidak banyak yang mengenalnya. Di Jakarta, sejauh ini tidak ada nama jalan yang mengabadikan namanya. Begitu pula di Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat. Hanya di Tasikmalaya nama KH. Z Mustofa terpampang sebagai nama jalan protokol.
Kisah heroik Mustofa menjadi catatan perjalanan sejarah Tasikmalaya. Ia berani menyerang tentara Jepang. Perlawanan yang dilakukan oleh ulama ini sebagai penolakan terhadap penjajah yang ingin membumihanguskan pendidikan pesantren. Peristiwa itu tidak akan pernah dilupakan warga setempat dan keluarga korban.
Tepatnya pada 1 Rabiul Awal 1365 H (25 Pebruari 1944), di Sukamanah, Kabupaten Tasikmalaya, terjadi pertempuran hebat antara pejuang (santri) melawan penjajah. Pertempuran tersebut merenggut banyak korban jiwa para pejuang.
Menjelang waktu solat Ashar hari itu, puluhan truk militer mendatangi Sukamanah. Pihak Jepang menganggap pesantren yang dipimpin KH. Z Mustofa itu menjadi basis pemberontak. Begitu tiba, para serdadu Jepang langsung melakukan tembakan salvo. Mereka juga menembaki para santri yang melawan dengan senjata seadanya, seperti pedang dan bambu runcing.
Melihat yang datang menyerang adalah anak bangsa sendiri (para serdadu Jepang itu adalah orang Indonesia), saat itu Mustofa memerintahkan para santrinya tidak melakukan perlawanan, sebelum musuh masuk jarak perkelahian.
Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, sekitar 86 pejuang gugur, dan Mustofa ditangkap bersama 21 santrinya.
Pertempuran itu merupakan puncak dari perseteruan antara pesantren Sukamanah dengan pihak Jepang. Sehari sebelumnya (24 Februari 1944), pasukan Jepang juga melakukan penyerangan. Mereka mengirimkan satu regu pasukan bersenjata, guna menangkap KH. Mustofa dan para santrinya. Itu dilakukan karena Jepang tahu sikap KH. Mustofa, yang bertekad menentang penjajahan. Upaya penangkapan pada hari itu gagal, pasukan Jepang bisa dilumpuhkan dan menjadi tawanan Sukamanah. Namun, semua tawanan itu dibebaskan keesokan harinya, hanya senjatanya yang dirampas.
Keesokan harinya, Jepang mengirimkan empat orang ke Sukamanah dan meminta agar Mustofa menyerah, tetapi tidak berhasil. Malahan, dari empat orang yang datang itu, tiga di antaranya berhasil dilumpuhkan, dan satu orang bisa lolos. Setelah itu, sore harinya, serangan kembali dilakukan dengan jumlah pasukan lebih besar.
Setelah itu, Mustofa tertangkap, namun tidak diketahui keberadaannya. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar: KH. Z Mustofa meninggal dunia pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol Jakarta.
Mustofa dilahirkan pada 1901 di Kampung Bageur, Desa Cimerah Kecamatan (sekarang lokasi itu menjadi wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame), Kabupaten Tasikmalaya. Putra pasangan petani Nawapi dan Ny. Ratmah itu dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama.
Seperti banyak putra pribumi lainnya, Mustofa kecil belajar di Sekolah Rakyat. Setelah itu, ia melanjutkan ke pesantren. Pertama kali masuk pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyaty yang merupakan kakak sepupunya. Dimyati dikenal dengan nama K.H. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian menimba ilmu di Pondok Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pondok Pesantren Sukamiskin, Bandung.
Walaupun masa kecilnya di zaman penjajahan Belanda, semangat jihad yang ditanamkan kakak sepupunya, Dimyati, tertanam sangat kuat dalam diri Mustofa. Tahun 1927, Mustofa mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula pesantren yang didirikan KH. Zainal Muhsin, yaitu Pesantren Sukahideng.
Saat itu, Mustofa tumbuh menjadi pimpinan dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil rois Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Sikapnya yang antipenjajah, tentu saja ditanamkan kepada para santrinya, yang jumlahnya sekitar 700 orang. Sikap itu kadang disampaikan terang-terangan di muka umum. Sehingga, tidak jarang, saat berkhotbah ia sering diturunkan dari mimbar oleh kiai yang propenjajah.
Bersama KH. Ilyas Ruhiyat (pimpinan Pondok Pesantren Cipasung), Mustofa ditangkap Belanda pada 17 November 1941. Ia kemudian ditahan di Penjara Tasikmalaya. Sehari kemudian, dipindahkan ke Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.
Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tak surut. Akhir Februari 1942, Mustofa kembali ditangkap dan dimasukkan penjara Ciamis. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara. Akhirnya, Mei 42, ia dibebaskan seorang kolonel Jepang.
Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya terhadap penjajah tidak berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak, manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Itu semua membuat tekadnya menentang dan menyatakan berontak terhadap Jepang semakin kuat.
Setelah ditangkap Jepang dalam pertempuran heroik di Sukamanah, keberadaan KHZ Mustofa sempat tidak jelas. Tidak ada yang tahu kiai karismatik itu dimakamkan di mana.
Akhirnya, salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, menelusuri keberadaan makamnya. Hasilnya, pada 1973 keberadaan makam pahlawan nasional itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Di tempat itu, makam Mustofa bersama 21 santrinya, berada di antara makam tentara Belanda.
Setelah dicek administrasi pemakaman dan lainnya, dapat dipastikan bahwa benar itu adalah makam KH. Z Mustofa bersama santrinya. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.
Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim mengaku pihaknya sangat bangga dengan perjuangan KH. Z Mustofa. Ia berharap semangat jihad yang dilakukan Mustofa dan para santrinya tidak pernah padam menjadi teladan generasi sekarang. “Semangat itu harus tetap menyala, hanya saja kontek jihad yang dilakukan sekarang bukan perang, melainkan melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan,” katanya.
Setelah mengabadikan namanya menjadi nama jalan protokol di Tasiklamaya, Tatang mengaku pihaknya akan membangun monumen KH. Z Mustofa di Singaparna. Monumen itu menjadi symbol kepahlawanan rakyat Tasikmalaya melawan penjajah.
Sumber :
Taufik Arbiansyah di http://www.forumbebas.com/post-380306.html
di postingkan juga di FB Group TASIKMALAYA TEMPO DOELOE
No comments:
Post a Comment