Monday, August 17, 2009

BAB IX. HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN DI RADIO DAN RADIO KASET

Bentuk nyanyian masa kini tidak berubah dari yang sudah pernah ada pada masa lampau, ratusan tahun silam. Yang berubah hanyalah suasana dan tempatnya sekarang. Kini nyanyian digelar di panggung-panggung terbuka, misalnya teater, gedung pertunjukan sandiwara, klub malam, panggung pertunjukkan, dan sebagainya. Pada abad ini orang-orang mulai mendengar nyanyian melalui radio, radio kaset, video, dan audiovisual lainnya. Sekarang hanya sedikit saja yang suka mendengar dan menyaksikan pertunjukkan dan show langsung dari pemain panggung dan penyanyi laki-laki dan wanita. Orang-orang lebih memilih radio dan kaset rekaman, video, film, televisi, dan lain-lain.


Kemudian timbul pertanyaan, apakah jenis hiburan tersebut boleh didengar atau tidak? Jawabnya: Wallahu a'lam adalah demikian:

Nyanyian yang sajikan demikian status hukumnya sama saja dengan nyanyian-nyanyian lainnya. Tidak peduli apakah penyanyi dapat dilihat di arena pertunjukan atau hanya suaranya saja yang terdengar. Apa yang kami paparkan sebelumnya kini lebih dipertegas lagi. Apabila nyanyian itu bercampur-baur dengan kata-kata atau perbuatan yang ditolak oleh Islam, maka pelaku dan jenis nyanyian itu haram. Selain itu, maka ia halal dan boleh.

Lain halnya dengan mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, piring hitam, dan sejenisnya. Jenis nyanyian yang disajikan demikian mubah dan tidak apa-apa. ????? Tidak peduli apakah nyanyian itu bersifat merayu/menggoda, tak tahu malu, atau melampaui batas etika nyanyian di dalam Islam, misalnyamenyebutkan kata-kata porno, jorok dan kotor. Tidak peduli apakah nyanyian itu disampaikan dengan cara memelas, dibumbui dengan sya'ir jatuh cinta asmara, cerita tentan kecantikan perempuan yang disenangi, rasa rindu dan kasih sayang, dan seterusnya.????? Nyanyian yang sama sekali tidak mengandung hal-hal tersebut di atas hukumnya mubah (boleh).

Untuk menjelaskan perihal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu:

1. ANTARA SUARA ASLI DENGAN REKAMAN.

Suara yang didengar itu adalah rekaman suara di kaset melalui radio dan audiovisual lainnya, bukan suara asli dan langsung dari penyanyinya (lelaki maupun wanita). Dari segi hukum syara', ada perbedaan antara fakta dengan imajinasi. Ada perbedaan antara bentuk asli dengan gambar, rekaman dan sejenisnya. Melihat aurat wanita di telivisi tidak sama hukumnya dengan melihat aurat wanita di hadapan mata kepala sendiri dalam bentuk aslinya. Ia tidak sama dengan bentuk imajinasi yang kita buat atau dibuat orang.

2. SUARA DARI BENDA MATI (TIDAK BERNYAWA).

Lagu di radio dan kaset rekaman bukan suara milik seseorang yang memiliki nyawa. Bukan pula mukallaf agar mampu menerima seruan yang ma'ruf dan dicegah melakukan yang mungkar jika ia menyeleweng dari Islam. Tetapi ia hanya merupakan suara yang keluar dari suatu alat atau benda yang tidak berakal. Alat tersebut juga bukan aurat. Dengan demikian, lagu atau nyanyian melalui televisi, film, video, atau bentuk audiovisual lainnya tentu saja bukan aurat dalam bentuk aslinya. Ia hanya gambar semata.

Sabda Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan yang mungkar dan ia harus dicegah dengan tangan atau lisan,tidak bisa diterapkan di sini ketika kita mendengarkan lagu di radio, televisi, dan sebagainya. Terkadang kita mendengar suara lagu dari seorang penyanyi lelaki maupun wanita yang sudah lama meninggal dunia. Dari keadaan yang demikian, maka bagaimana mungkin kita bisa menyerukan kepadanya agar berbuat yang ma'ruf (baik dan sesuai dengan ajaran Islam) serta mencegahnya melakukan yang mungkar (buruk menurut hukum Islam)?

Barangkali ada yang membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kita bisa melakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara mengganti gelombang radio, canel televisi, atau memilih kaset yang sesuai dengan etika hukum Islam. Tetapi kita bisa balik bertanya, apakah dengan begitu selesai masalahnya?

Tentu masalahnya tidak sederhana dan segampang itu. Mengganti gelombang radio atau canel televisi tetap tidak dapat mengubah hal mungkar (sya'ir porno, jorok dan kotor). Paling-paling yang bisa kita lakukan hanya sebatas menghindari diri agar kita tidak mendengar nyanyian dan kata-kata mungkar yang terdapat pada lagu tersebut. Ini sama halnya dengan seseorang yang menutup telinganya sementara ia tetap membiarkan penyanyi itu terus berdendang dengan kemungkaranya. Apakah dengan demikian, perbuatan yang demikian dapat diketegorikan sebagai perbuatan amar ma'ruf nahi mungkar? Tentu tidak. Bahkan ia hanya berupa penolakan mendengarkan bagi dirinya sendiri, dan tidak lebih dari itu. Sedangkan kemungkaran itu tetap ada dan bekembang di tengah-tengah masyarakat. Lalu, untuk mengubah keadaan tersebut, bagaimana caranya?

Perubahan menyeluruh dan mendasar hanyalah melalui suatu kekuasaan dan kekuatan dari suatu negara yang menerapkan Islam secara totalitas. Syariat Islam telah membebankan tugas mencegah kemungkaran dengan kekuatan fisik yang dimilikinya untuk membersihkan masyarakat dari noda-noda dosa dan kemaksiatan yang telah merajalela dan mendarah-daging di dalam tubuh umat.

Oleh karena itu dari keterangan di atas kita mengtahui bahwa mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, televisi, dan media audiovisual lainnya, hukumnya tetap mubah. Dasarnya adalah dengan mengambil kaidah syara' yang berbunyi (Lihat Zain-ul-'Abidin Ibrahim Al-Misri, AL-ASYBAH WAN-NAZHAIR, Jilid I, hlm. 97; Mahmud Al-Hamzawi, AL-FAWAID-UL-BAHIYAH FIL-QAWAIDI WAl-FAWAID-IL-FIQHIYYAH, hlm. 284; Ibnu 'Abidin, HASYIYAT-UR RADD-UL-MUKHTAR, Jilid I, hlm 71, Jilid III, hlm. 244,dan Jilid IV, hlm. 176):


(الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلُ التَّحْرِيمِ)
"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh dipakai dan dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya."

Hadits Rasulullah s.a.w. tentang kewajiban mencegah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati tidak dapat diterapkan di sini. Begitu juga dengan firman Allah s.w.t. tentang orang-orang zalim, fasik, fasik, kafir, dan orang-orang yang mengucapkan atau melakukan kekufuran dan kemaksiatan:


(فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) (الأنعَام: 68)
"Maka, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan." (6:68).

Atau firmanNya:


(فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ (إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ) (النساء: 140)
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).

Dua ayat tersebut di atas tidak bisa diterapkan terhadap si pendengar lagu melalui radio,radio kaset, televisi dan yang sejenisnya karena penyanyinya tidak bersama si pendengar. Pendengar tidak ikut serta bersamanya di tempat-tempat pertunjukan (langsung).

3. BUKAN SUARA YANG BERHADAPAN LANGSUNG.

Mendengarkan nyanyian itu bukanlah mendengarkan suara penyanyi asli yang langsung dan berhadapan. Ia hanya berupa suara rekaman. Ia adalah bentuk mendengarkan yang tidak langsung. Dengan kata lain, suara itu bukan kepunyaan si penyannyi secara langsung berhadapan. Suara itu hanya milik dari suatu alat audio atau visual semisal televisi, radio, film, video, radiokaset, dan lain-lain. Karena kita tidak dapat menerapkan sabda Rasulullah s.a.w. (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 2654; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 2154; dan MUSNAD IMAM AHMAD, Jilid II, hlm. 276, 317 dan 329):


(وَ الأُذُنُ تَزْنِي وَ زِنَاهَا الاِسْتِمَاعُ)

"Telinga akan ikut berzina pula. Zinanya adalah mendengarkan (sesuatu yang telah diharamkan untuk mendengarkannya)." (HR. AHMAD, ABU DAWUD dan AHMAD).

Sebab, tidak mungkin menimbulkan dampak (positif maupun negetif), sebagaimana penjelasan Rasulullah s.a.w. berikut ini:


(وَ الْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ)

"Faraj (kemaluan) akan mengakui (apa yang didengarnya); atau menolaknya (sama sekali tidak terpengaruh)."

Bagaimana mungkin bisa terjadi pada seorang pendengar lagu di radio, televisi, video, radiokaset, dan jenisnya, kemudian ia bertindak langsung terhadap penyanyinya, misalnya dengan menodainya? Suatu hal yang mustahil untuk dilakukan!

Barangkali ada yang memberikan komentar sebagai bantahan. Bukankah bisa jadi nyanyian yang didengar melalui alat-alat audiovisual itu tetap saja mampu membangkitkan birahi dan naluri seksual?

Jika komentar itu dijadikan sebab untuk mengharamkan nyanyian tersebut, maka bagaimana kalau ia tidak membangkitkan birahi? Apakah ia berarti mubah (boleh didengar)? Lagi pula, siapa yang berhak menentukan sebab ('illat) untuk mengharamkan sesuatu? Apakah 'illat itu boleh dengan akal?

Sudah diketahui, 'illat tidak boleh berdasarkan aqliyah (berdasarkan akal). Ia hanya semata-mata berdasarkan suatu dalil syar'i sebab masalah halal dan haramnya sesuatu adalah masalah yang haq dan itu otoritas Allah s.w.t. semata. Dalam hal ini tidak terdapat adanya suatu 'illat tentang halal dan haramnya nyanyian. Karenanya, nyanyian tidak bisa diharamkan hanya karena alasan membangkitkan syahwat (nafsu birahi). Bahkan alasan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tolok ukur dalam masalah "tahrim" (menentukan haramnya sesuatu). Cara tersebut bertolak dari pertimbangan akal, bukan syara'. Selain itu, syara' tidak mengharamkan usaha individu manusia untuk membangkitkan syahwatnya karena usaha yang demikian tidak secara otomatis mendorongnya melakukan perzinaan, berpacaran, atau perbuatan haram lainnya.

Ada alasan yang mengatakan bahwa mendengar lagu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari zikrullah ketika mendengarkanya melalui alat-alat audiovisual. Alasan tersebut dapat disanggah. Setiap sesuatu yang mengalihkan perhatian orang dari zikrullah adalah bathil, maka kita lantas bertanya, apa itu zikrullah? Apakah ia hanya ucapan dua kalimat syahadat atau melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan wajib? Bila yang dimaksud adalah mengucapkan dua kalimat syahadat atau mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" secara berulang-ulang maka mendengarkan nyanyian dalam hal ini tidak sampai mengalihkan perhatian seorang dari zikrullah tadi.

Namun bila yang dimaksud adalah melakukan solat atau mengerjakan ibadah-ibadah lainnya dan melaksanakan hal-hal yang fardhu, maka harus dipertimbangkan apakah betul nyanyian dari alat-alat audiovisual itu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan fardhu dan kewajiban yang serupa lainnya. Jika "ya", maka mendengar nyanyian atau musik seperti itu adalah haram. Setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga menjauhkannya dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang wajib atau fardhu, maka hukumnya haram, tanpa melihat bagaimana bentuk kesibukannya. Tidak peduli apakah ia penting atau tidak. Tidak peduli apakah kesibukannya itu mencari nafkah yang wajib atau mubah, atau sibuk menghibur diri sehingga lupa kepada kewajiban ibadah wajib tadi.

Jual-beli, misalnya, dapat menyibukkan seseorang dan mengalihkan perhatiannya, walaupun dari segi hukum asalnya adalah mubah. Begitu pula pekerjaan kantoran atau pabrik juga dapat menyibukkan dan mengalihkan perhatian seseorang, walaupun hukum mencari nafkah bagi seorang fakir miskin atau mencari uang adalah fardhu. Tetapi semua kegiatan tersebut baik yang fardhu maupun mubah, jika sampai melengahkan atau mengalihkan seseorang dari pelaksanaan solat atau setiap perbuatan yang wajib, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan sampai kewajiban ibadah terlaksana.

Misalnya solat Juma'at. Allah s.w.t. telah melarang kaum Muslimin berjual-beli pada waktu solat Juma'at setelah dikumandangkannya adzan yang kedua atau setelah khatib naik mimbar, sebagaimana firmanNya:


(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ...) (الجمعة: 9)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada panggilan (adzan) untuk mengerjakan solat pada hari Juma'at, maka bersegeralah kamu mendatangi (majid) untuk melakukan zikrullah (solat Juma'at) dan tinggalkanlah jual-beli....." (62:9).

Munculnya larangan jual-beli pada waktu mendengar adzan Juma'at adalah karena kegiatan tersebut dapat menyibukkan orang dan mengalihkan perhatiannya dari melaksanakan solat Juma'at. Tetapi di luar waktu itu, setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga solatnya tertinggal adalah haram apabila aktivitas itu dilakukan pada saat pelaksanaan yang fardhu. Dalam hal ini telah ditetapkan dan dibatasi waktu pelaksanaan solat itu. Tetapi sesudah waktu solat lewat dan fardhu sudah dilaksanakan, maka apa yang dilakukan sebelumnya, baik pekerjaan itu wajib maupun mubah, ia boleh dilanjutkan kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan di atas.

Islam membolehkan kaum Muslimin menghibur diri pada waktu-waktu tertentu. Juga dibolehkan menampakkan rasa gembira dengan berbagai cara, dalam hal ini termasuk aktivitas bernyanyi, memainkan alat musik, mendengarkan lagu, dan sebagainya. Kehidupan ini tidak semata-mata digolongkan dalam bentuk aktivitas ibadah secara terus-menerus. Kehidupan juga bukan hanya berusaha mencari rezki dan bekerja dari pagi sampai malam setiap hari tanpa ada waktu sedikit pun untuk menghibur diri, beristirahat, dan menjalankan berbagai kewajiban lain. Sama halnya dengan menuntut ilmu (belajar) dari pagi sampai sore di sekolah, kemudian dilanjutkan di rumah sampai tengah malam dan dilakukan rutin setiap hari. Karena itulah, Islam mengijinkan pemeluknya menghibur diri dengan berbagai cara, di samping juga beribadah, beramal, menuntut ilmu, berjuang untuk Islam, berusaha mencari rezeki, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tentang hal ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: (Lihat FATH-UL-KABIR, Jilid III, hlm.297).


(وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كُنْتُمْ تَكُونُونَ فِي بُيُوتِكُمْ عَلى الْحَالَةِ الَّتِي عَلَيْهَا عِنْدِي لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَ لأَظَلَّتْكُمْ بِأَجْنِحَتِهَا وَ لَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ: سَاعَةٌ وَ سَاعَةٌ)
"Demi Allah yang jiwaku ada pada gengamanNya , jika kalian di rumahmu masing-masing berzikir dan berada dalam keadaan yang sama seperti kamu berada di sisiKu, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan dengan kalian dan akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, hai Hanzhalah (kehidupan ini) kadang-kadang begini dan begitu (Rasulullah s.a.w. mengulangi-ulangi kata-kata tersebut sebanyak tiga kali) (HR.IMAM AHMAD, TIRMIDZI, dan IBNU MAJAH, dari Hanzhalah Al-Asdi).

Maksud sabda Rasulullah s.a.w. di atas diterangkan pada bagian awal dari Hadits tersebut, yaitu ucapan Hanzhalah:


(نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَ الْجَنَّةِ حَتّى كَأَنَّا رَأَى عَيْنَ فَإِذَا خَرَجْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللهِ (ص) عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَ الأَوْلاَدَ وَ الضَّيْعَاتِ فَنَسِينَا كَثِيرًا)
"Jika kita berada di sisi Rasulullah s.a.w., beliau mengingatkan kita tentang jannah dan jahannam, sampai-sampai kita seakan-akan melihatnya. Tetapi apabila kita meninggalkan Rasulullah s.a.w., lantas kita sibuk denga istri, anak-anak dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah sampai kita banyak yang lupa diri."

Dalam riwayat lain disebutkan:


(ثُمَّ إِذَا عُدْتُ الْبَيْتَ ضَاحَكْتُ الصِّبْيَانَ وَ لاَعَبْتُ الْمَرْأَةَ)
"Jika aku pulang ke rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau dengan istri."

Sehubungan dengan perbuatan yang disebutkan oleh Hanzalah tadi, di antara para sahabat ada yang melakukannya dan ada yang tidak. Tetapi Abu Bakar menganggap Hanzalah telah berbuat nifaq, namun Rasulullah tidak menganggap demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini tidak bisa berjalan apabila tidak dinikmati, baik dengan cara bermain bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja untuk menambah kekayaan, menghibur teman atau menghibur diri dengan berekreasi, termasuk di sini bernyanyi, mendengar musik, dan sebagainya.

Rasulullah s.a.w. bersabda:


(رَوِّحُوا الْقُلُوبَ سَاعَةً وَ سَاعَةً)
"Legakanlah hatimu sekali-kali." (HR. ABU DAWUD dari Ibnu Syihak Az-Zuhri dengan sanad mursal dan hasan).

Imam Al-Manawi menjelaskan perihal Hadits ini sebagai berikut (Lihat Imam Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 40-41):

"Legakanlah hatimu sekali-kali dari kesibukan melaksanakan ibadah dengan cara mengerjakan suatu perbuatan mubah yang tidak beresiko siksaan dan pahala (Allah s.w.t.)."

Imam Al-Manawi melanjutkan. Katanya, pernah dibacakan Al-Quran dan puisi di hadapan Rasulullah s.a.w. Lalu Abu Bakar datang dan menolak perbuatan ini. Ia berkata: "Bagaimana bisa disatukan bacaan Al-Quran dengan puisi di hadapan Rasulullah!" Namun Rasulullah s.a.w. menjawab:


(نَعَمْ سَاعَةٌ هذَا وَ سَاعَةٌ ذَاكَ)
"Ya, bisa, Sekali-sekali untuk ini dan sekali-sekali untuk yang itu."

Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa kita boleh melegakan hati dan menghibur diri sesekali dengan musik, lagu atau bentuk kesibukan ringan lainnya, misalnya olahraga, berbagai perlombaan, dan sebagainya. Tetapi bila perbuatan mubah itu menyebabkan ibadah kita tertinggal dan hal-hal fardhu diabaikan, maka yang menjadi haram bukanlah aktivitas menghibur diri dengan nyanyian dan musik. Jika kesibukan mubah itu dianggap sesuatu yang penting dan mengalihkan perhatian kita dari kewajiban-kewajiban hidup yang wajib dilaksanakan maka haram hukumnya.

Terkadang pelaksanaan kewajiban seperti mencari nafkah yang wajib dapat mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan solat. Dalam hal ini yang haram bukan menyibukkan diri dalam mencari nafkah tapi bila mencari nafkahnya dilakukan pada waktu solat Juma'at, atau terus-menerus bekerja dari pagi sampai larut malam sehingga tidak sempat menunaikan solat. Begitu juga halnya dengan musik dan nyanyian mubah yang didengar melalui radio, kaset dan sejenisnya. Juga nyanyian yang keluar dari senandang budak perempuan, dari istri, teman, saudara dan kerabat dekat lainnya. Nyanyian ini boleh didengar asalkan tidak sampai kelewat batas yang ditetapkan syara' sehingga sampai menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian kita dari melaksanakan solat serta kewajiban-kewajiban hidup lainnya. Jika demikian, maka hukumnya haram. Keharamannya bukan karena nyanyian tetapi akibatnya yang melalaikan. Hanya itu! Kecuali, bila nyanyian itu disertai dengan hal-hal yang haram sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.

Mendengarkan nyanyian yang mubah, hukumnya mudah sebab termasuk jenis hiburan yang mubah pula. Statusnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan manusia, seperti naik kuda, berenang, memanah, duduk, berdiri, berjalan, bertamasya, dan sebagainya.

Semua orang boleh melakukanya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan suatu kegiatan yang mubah untuk menghibur diri maka sebenarnya kita melakukannya bukan untuk menyesatkan diri atau menjauhkan kita dari jalan Allah s.w.t., bahkan sebaliknya. Hal itu dilakukan hanya untuk menghilangkan kejenuhan dengan suatu macam hiburan yang mubah, atau kita melakukannya untuk memperkuat diri agar mampu melaksanakan ibadah dan setiap ketaatan lainnya terhadap Allah s.w.t. Tidak mungkin (sedikit sekali) orang melakukannya untuk menjauhi diri dari ketaatan semacam itu.

Apabila hati kita telah merasa lelah, bosan, dan jemu, untuk mengatasinya maka Abu Darda' (salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.) berkata: "Aku suka melegakan hatiku dengan sebagian dari hal-hal yang tidak bermanfaat, yakni dengan bermacam-hiburan yang mubah agar aku kembali bersemangat untuk mengerjakan yang haq (kewajiban hidup)."

Imam Ali bin Abi Thalib juga berkata (Lihat Yusuf Qardhawi, HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM, hlm. 283): "Sesungguhnya hati manusia bisa bosan dan lelah seperti layaknya badan manusia. Oleh karena itu, carilah berbagai kegiatan yang tepat untuknya (yang melegakan)."

[Mungkin berasal dari ucapan ini:


(إِنَّ هذِهِ الْقُلُوْبَ تَمَلُّ كَمَا تَمَلُّ الأَبْدَانُ فَابْتَغُوْا لَهَا طَرَائِفَ الحِكَمِ) (نهج البلاغة.رقم: 91)
"Hati ini menjadi muak ketika tubuh menjadi muak; maka carikan ucapan-ucapan bijaksana yang indah untuknya." (Dari kitab PUNCAK KEFASIHAN oleh Penerbit Lantera, No.91, hlm. 753).]

Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika nyanyian itu diwarnai dengan nilai-nilai keislaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi Gazalba berpendapat: "Musik dapat menimbulkan emosi gejolak di dalam batin pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan-gerakan liar. Tetapi nada musik dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai, dan kenikmatan hati. Nada musik yang melahirkan kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki Islam." (Lihat Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, ISLAM DAN KESENIAN, hlm. 195).

--------
Info ini didapat dari : Debu.com atau seni.musikdebu.com 

No comments:

Post a Comment